Ambon, Indolensa — Saat luka masih menganga akibat konflik antarwarga yang mengguncang Desa Sawai, secercah harapan datang dari seorang putra Maluku yang memilih untuk tidak diam. H. Umar Key Ohitenan S.H, tokoh muda asal Kei, menunjukkan bahwa cinta terhadap tanah leluhur tidak selalu harus diwujudkan dengan kemewahan—cukup dengan kepedulian yang tulus dan tindakan nyata.
Jumat, 11 April 2025, langit Ambon tak menunjukkan tanda-tanda khusus. Namun, di sebuah rumah sederhana di Jalan Diponegoro, sebuah peristiwa kecil namun bermakna terjadi: bantuan tunai disalurkan kepada korban konflik di Sawai. Disaksikan para tokoh masyarakat dan perwakilan warga, momen itu menjadi simbol bahwa Maluku tidak pernah kekurangan hati-hati besar.
“Jangan lihat dari nilainya, lihat dari niatnya,” ujar Umar, dengan mata yang berkaca-kaca. “Kami datang bukan membawa solusi besar, tetapi semangat besar. Kami ingin perdamaian. Kami ingin Maluku yang utuh.”
Bantuan tersebut diserahkan kepada dua perwakilan keluarga besar Sawai, Pak Irfan dan Pak Ifan. Tidak banyak jumlahnya, namun sarat makna. Dalam budaya Maluku, ‘potong dikuku rasa di daging’ bukan sekadar pepatah—ia hidup dan berdetak dalam setiap aksi seperti ini.
Dalam sambutannya, Umar tidak hanya menyampaikan kepedulian, tetapi juga kritik dan seruan. Ia menyoroti pentingnya menghentikan pertikaian horizontal yang menggerus fondasi sosial masyarakat Maluku.
“Kalau kita terus bertikai, bagaimana kita bisa membangun masa depan? Mari kita dukung pemerintah daerah, Pak Gubernur Hendrik Lewerissa dan Pak Wakil Gubernur Abdullah Vanath, untuk menciptakan Maluku yang lebih baik dan damai,” ungkapnya.
Dukungan moral datang dari Ustad Habib Riski yang dengan penuh semangat menyampaikan pesan damai dari FPMM (Forum Pemuda Muslim Maluku).
“Kami tidak melihat suku, agama, atau asal-usul. Kami hanya melihat satu hal: kita semua bersaudara. Baku kele, baku sayang. Itulah semangat Maluku. Dan kami, FPMM, berdiri untuk menjaga semangat itu tetap hidup, dari Jakarta sampai ke pelosok desa,” ujar Ustad Habib, yang memimpin doa bersama di akhir acara.
Menutup kegiatan, Umar menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Sawai dan Kailolo karena belum bisa hadir langsung ke lokasi bencana.
“Maafkan kami. Kami dari Kei langsung ke Jakarta, dan hanya bisa mampir sebentar ke Ambon. Tapi hati kami ada di sana, bersama semua korban. Sesampainya di Jakarta, saya akan menghubungi Bapak Raja di Kailolo untuk langkah selanjutnya,” ucapnya lirih.
Dalam keheningan doa, rasa syukur dan haru menyelimuti ruangan. Tidak ada hiruk pikuk. Tidak ada kemewahan. Hanya manusia yang saling peduli, dan semangat Maluku yang tetap menyala.