BPKP Maluku Awasi Pelaksanaan Program Makanan Bergizi, Temukan Sejumlah Kendala

Ambon, Indolensa – Media Indolensa disambut hangat oleh jajaran Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Maluku saat melakukan wawancara di kantor BPKP Provinsi Maluku. Kepala Bagian Umum BPKP Maluku, Rohmad Adi Siaman, bersama dengan Muhammad Muhsin selaku Koordinator Pengawasan Bidang Instansi Pemerintah Pusat dan Muhammad Arif Sagita Sakita, Sub Koordinator BPKP Rumah Tangga dan Kearsipan, turut hadir dalam pertemuan tersebut.

Dalam wawancara, Muhammad Muhsin menjelaskan bahwa program Makanan Bergizi (MBG) telah berjalan di beberapa titik di Pulau Ambon dan Maluku Tengah. Hingga saat ini, terdapat tiga Satuan Pelaksana Pemberian Gizi (SPBG) yang beroperasi, yakni di Batalyon 733/Masariku, Kecamatan Baguala; Wayame, Kecamatan Teluk Ambon; serta Negeri Hitu Mesing, Kecamatan Leihitu.

Menurutnya, dapur di Batalyon 733/Masariku telah memenuhi standar karena merupakan bangunan baru dengan peralatan stainless steel. Namun, dua dapur lainnya masih menggunakan fasilitas sewaan dan belum seluruhnya memakai peralatan standar.

“Di Hitu Mesing dan Teluk Ambon, dapurnya masih menggunakan kompor biasa, sementara yang di Batalyon 733/Masariku sudah memakai gas. Selain itu, peralatan masak masih sebagian plastik yang hanya bisa digunakan maksimal 15 kali sebelum harus diganti,” ujar Muhsin.

BPKP juga mencatat laporan adanya siswa di salah satu sekolah di Baguala yang mengalami gatal-gatal setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Dugaan sementara adalah reaksi alergi terhadap ikan tertentu, bukan akibat kelalaian penyedia makanan.

“Kami berupaya memberikan pemahaman bahwa tidak mungkin penyedia makanan sengaja memberikan bahan yang berbahaya. Mungkin ada satu ikan yang bermasalah di antara banyak ikan yang dibeli,” jelasnya.

Dari sisi anggaran, BPKP mengungkapkan bahwa standar biaya program MBG awalnya ditetapkan sebesar Rp15.000 per porsi, mencakup bahan makanan, operasional dapur, dan peralatan masak. Namun, karena banyak bahan baku diimpor dari luar Maluku, indeks harga tengah dievaluasi oleh pemerintah pusat.

“Di wilayah timur, biaya hidup lebih tinggi. Namun, dari perhitungan kasar, anggaran Rp10.000 sebenarnya masih cukup. Sekitar Rp5.000 untuk operasional, dan sisanya untuk bahan makanan,” ungkapnya.

Selain kendala operasional, BPKP juga menemukan beberapa hambatan administrasi. Hingga kini, beberapa pegawai yang diangkat untuk mengelola dapur MBG belum menerima gaji akibat keterlambatan pencairan dana.

“Jika pembayaran tidak segera dipercepat, dikhawatirkan program ini tidak dapat berjalan dengan optimal,” tambah Muhsin.

BPKP berencana meningkatkan pengawasan terhadap penyedia bahan baku dan kebersihan dapur.

“Ke depan, kami akan turun langsung untuk memastikan kualitas bahan baku, kebersihan dapur, serta memastikan makanan yang diberikan memenuhi standar gizi yang telah ditetapkan. Kami juga akan bekerja sama dengan tenaga ahli gizi dan kesehatan untuk menjamin kualitas makanan yang disajikan kepada siswa,” jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa BPKP akan terus mengawal program MBG agar berjalan sesuai tujuan pemerintah pusat.

“Kami sudah melaporkan temuan di lapangan kepada pusat, termasuk kendala dalam mekanisme pencairan dana, pengadaan bahan makanan, serta pengawasan kebersihan dapur,” tambahnya.

Dengan berbagai tantangan yang ada, BPKP menegaskan bahwa SOP program MBG harus terus diperbaiki, terutama di dapur-dapur yang masih memiliki keterbatasan.

“Kami berharap SOP terkait kebersihan, pencucian peralatan, hingga standar operasional di dapur, khususnya di Batalyon 733/Masariku, bisa segera diperbaiki agar program ini benar-benar bisa berjalan dengan maksimal,” tutupnya.

(Silvia Patty – Indolensa)