Jakarta, Indolensa – Dua wartawan Paradise Broadcasting, Media baru dari Sydnay, Australia, Kristo Langker dan Kirsten Felice, menerima Penghargaan Oktovianus Pogau dari Yayasan Pantau atas keberanian mereka dalam meliput konflik di Papua.
Liputan investigatif mereka mengungkap penggunaan roket dan mortar oleh aparat keamanan Indonesia terhadap Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di Pegunungan Bintang. Tanpa visa Indonesia, mereka berjalan kaki melintasi perbatasan Papua Nugini-Indonesia, menempuh medan berat hutan dan sungai untuk bertemu dengan belasan anggota TPNPB.
“Salut buat Kirsten Felice dan Kristo Langker, dua jurnalis muda yang sangat berani,” ujar Yuliana Lantipo dari Yayasan Pantau, Sabtu (31/1).
Paradise Broadcasting dan Liputan Papua
Paradise Broadcasting didirikan oleh Kristo Langker pada 2023. Sebelumnya, ia meliput penculikan pilot Selandia Baru, Phillip Mark Mehrtens, yang disekap oleh kelompok TPNPB di Pegunungan Tengah untuk menarik perhatian dunia.
Pada 2024, mereka masuk ke Pegunungan Bintang dan membuat film dokumenter “Frontier War: Inside The West Papua Liberation Army.” Dalam liputan ini, mereka menemukan empat jenis bahan peledak yang digunakan aparat Indonesia saat menyerang Kiwirok pada September-Oktober 2021, yaitu:
- Mortir Krusik 81mm buatan Serbia
- Roket Thales FZ 68 buatan Prancis
- Granat Pindad 40mm buatan Indonesia
- Sirip ekor plastik yang belum teridentifikasi
Liputan ini menguatkan laporan sebelumnya tentang penggunaan mortir Serbia oleh Badan Intelijen Negara (BIN), yang bahkan sempat dipertanyakan oleh DPR. Selain itu, mereka juga mengungkap penggunaan drone tempur Ziyan Blowfish A3 buatan Tiongkok dan helikopter Airbus H125M serta H225M dalam operasi militer di Papua. Pemerintah Indonesia pun meminta YouTube memblokir film dokumenter mereka.
Konflik Kiwirok 2021 dan Respons Militer
Pada 13 September 2021, kelompok bersenjata pimpinan Lamek Taplo menyerang pos militer dan polisi Indonesia di distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, menyebabkan baku tembak seharian yang menewaskan seorang militan Papua dan melukai seorang tentara Indonesia.
Massa juga membakar delapan sekolah, dua klinik, rumah sakit, bank, dan pasar. Militan Papua menyerang rumah sakit, membakarnya, serta diduga memukuli beberapa tenaga medis. Jenazah perawat Gabriella Meilani ditemukan dua hari kemudian.
Sebagai respons, militer Indonesia melancarkan serangan udara, menjatuhkan 14 mortir buatan Serbia dengan helikopter Angkatan Udara. Panglima TNI di Papua, Mayjen Yogo Triyono, membenarkan serangan itu tetapi membantah bahwa warga sipil menjadi sasaran.
Menurut organisasi HAM lokal, sekitar 1.000 keluarga mengungsi ke Oksibil, sementara 180 keluarga lainnya melintasi perbatasan ke Papua Nugini. Banyak dari mereka mengalami kekurangan makanan dan layanan medis. Pada 25 Oktober 2021, seorang polisi Indonesia tewas dalam baku tembak dengan militan di Kiwirok.
Triyono kemudian menyatakan bahwa dialog politik diperlukan untuk menyelesaikan konflik di Papua, karena pasukannya juga mulai “lelah dengan baku tembak.”
Pembatasan Jurnalisme Asing di Papua
Sejak 1967, Indonesia membatasi akses jurnalis asing ke Papua Barat. Banyak wartawan mengalami kesulitan mendapatkan visa, ditangkap, atau dikuntit oleh aparat saat meliput di sana.
Langker (24) adalah mahasiswa musik di University of Sydney, sedangkan Felice (25) adalah alumni Torrens University Australia yang kini bekerja sebagai wartawan video.
Mengenang Oktovianus Pogau
Penghargaan ini diberikan setiap tahun untuk mengenang Oktovianus Pogau, wartawan Papua yang lahir di Sugapa, tahun 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura.
Pogau mendirikan Suara Papua pada 2011 setelah melaporkan kekerasan aparat terhadap peserta Kongres Papua III di Jayapura.
Suara Papua juga terlibat dalam pembuatan penghargaan pada 2017 namun penilaian dan pengumuman dilakukan Yayasan Pantau.
Yuliana Lantipo, sendiri sehari-hari bekerja sebagai redaktur Tabloid Jubi di Jayapura mengatakan, “Saya bertemu Octo pertama kali di Jogja, tahun 2008 saat dia diundang oleh organisasi mahasiswa di Jogja sebagai pembicara dalam sebuah seminar.”
“Waktu itu dia masih siswa SMA tapi sudah jadi pembicara dimana-mana dengan artikel-artikelnya yang dipublikasi di beberapa media. Saya lihat dia anak muda pemberani dan kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Keberanian Kirsten dan Kristo mengingatkan saya pada sosok Octo.”
Juri penghargaan tahun ini terdiri dari Andreas Harsono (Jakarta), Alexander Mering (Pontianak), Coen Husain Pontoh (New York), Made Ali (Pekanbaru), dan Yuliana Lantipo (Jayapura).
Keberanian Langker dan Felice dalam menembus Papua kembali menyoroti sulitnya akses informasi dari wilayah tersebut serta meningkatnya eskalasi militer di Papua Barat.