Curang

Oleh Zulfata Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)

Kata curang cenderung ramai dilontarkan ke ruang publik, terutama dalam pentas politik. Layaknya sebuah perlombaan atau pertandingan, tuduhan atau benar melakukan curang mendorog suatu poros untuk memancing keributan dan bahkan menggelar keributan. Dalam konteks pemilu di Indonesia, tuduhan bahkan praktik curang cenderung tampil di permukaan. Jangankan adanya sintom curang di masa lalu, potensi kecurangan hari ini pun tak terbendung.

Biasanya, kecurangan politik akan hilang ketika yang awalnya dianggap curang dan kemudian setelah mendapat payung hukum, maka kecurangan itu secara otomatis menjadi legal. Pada posisi ini, siapa yang menentukan aturan main sangat memiliki peran penting dalam mengelola terkait curang atau tidaknya.

Bacaan Lainnya

Dalam mengidentivikasi kecurangan, ada beberapa poros yang dapat dicermati, (1) poros wasit, (2) poros pemain dan (3) poros penonton. Dari ketiga poros ini sejatinya yang sangat menentukan adalah poroses wasit, atau dalam konteks pemilu adalah penyelenggara pemilu, apakah itu KPU, Bawaslu dan seterusnya. Sebagai poros pemain dan penonton pada posisi tertetu berpotensi tidak dibegitu dipertimbangkan oleh wasit, sehingga pada posisi ini pula wasit dapat suatu celah dalam merencanakan sesuatu dengan menjurus pada pemain tertentu yang akan dimenangkan. Praktik seperti inilah dalam studi pemilu disebut sebagai penyelenggara pemilu yang tidak netral.

Mencermati iklim demokrasi di Indonesia hari ini, diakui atau tidak, politik curang nyaris dijadikan sebagai seni perjuangan. Baik dari curang dalam mengintervensi para pembuat hukum, penegak hukum hingga pada praktik curang mengelola perangkat negara. Selanjutnya, curang dalam memobilisasi opini publik juga tak terhindari dalam konteks berdemokrasi hari ini. Sehingga yang cenderung terlihat saat berpolitik adalah si-curang teriak si-curang atau si-curang Vs si-Curang. Selanjutnya, yang tampil dalam gelanggang politik adalah adu kecurangan.

Sungguh naif jika perpolitikan Indonesia hari ini tidak terindikasi politik curang, sebab praksis politik yang dibangun hari ini penuh dengan sandiwara dan kepalsuan di ruang publik. Rakyat cenderung akan selalu dicurangi meskipun ada poros yang kalah setelah dicurangi dengan berbagai cara dan taktik. Curang yang dimaksud dalam kajian ini tentunya bermain atau berpolitik tidak semestinya aturan, maupun berpolitik tanpa ada aturan, tanpa ada etika.
Situasi dan kondisi politik keindonesiaan yang sedemikian tanpa disadari telah mendarahdaging dengan DNA-nya kecurangan. Sehingga tidak keliru rasanya ketika ada yang berkeyakinan bahwa politik itu identik dengan kecurangan.

Tanpa berbuat curang, maka kekuatan politik tertentu dapat dilemahkan. Terlebih partisipasi politik publik dan pemangku kebijakan di republik masih dapat dikatakan jauh dari apa yang disebut degan perpolitikan secara sehat. Jadi, secara tidak langsung alam keindonesiaanpun turut mendukung bagi eksistensi kecurangan dalam berbagai poroses transisi kekuasaa di republik ini. Uniknya, praktik kecuragan ini tidak hanya terjadi pada level pemerintahan pusat, tetapi juga merembet ke level dan cakupan lainnya, baik di partai politik, lembaga pemerintah, swasta bahkan di aktivitas kemasyarakatan tertentu.

Munculnya anggapan terkait peran “orang dalam” akan lebih kuat dari pada kemampuan sumber daya manusia adalah bukti konkret bahwa eksistensi kecurangan di ruang publik itu tidak bisa dipungkiri. Dalam konteks tertentu, fit and proper test hanyalah jalan formalitas, namun penentuannya tetaplah berada pada apa yang disebut “power people in” (kekuatan orang dalam), apakah yang bersangkutan ada kaitannya dengan anak presiden, anak gubernur, anak bupati atau anak mantan wali kota. Fenomena yang tidak adil bagi politik demokrasi publik ini adalah sebuah keniscayaan politik yang kita jalani hari ini.

Dalam dunia perpolitikan yang penuh dengan pertimbangan keturunan, finansial, jejaringan dan seterusnya, maka politik feodalisme akan semakin mengakar kuat, yang kuat akan terus menindas yang lemah, baik secara halus maupun cara kasar. Apa yang disebut kejujuran politik sejatinya hanyalah pemanis bibir dengan tidak meyebutnya sebagai laporan prestasi politik omong kosong. Saat politik dihiasi dengan kecurangan, maka tidak akan ada yang namanya keadaban politik. Jadi, wajar saja setelah pertarugan politik usai, justru menyisakan celah-celah kesenjangan hingga kesenjangan terus menumpuk dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Tanpa disadari bahwa hal tersebut merupakan bagian dari dampak praktik curang yang mungkin di antara kita masih samar-samar untuk mempercayainya.

banner banner

Pos terkait