Pilpres 2024 sudah di depan mata, mesin politik mengencang, narasi politik berhamburan menyasari publik dengan berbagai pendekatan/nilai tawarnya. Setiap pelaksanaan pemilu di republik ini, mulai sejak 1955 hingga 2024, dalam rentang waktu tersebut cenderung syarat siasat kekuasaan. Baik dari sisi desain pemilu hingga penanganan di lapangan.
Semakin komplit persoalan saat menguraikan gelagat politik pilpres 2024, dimana Jokowi sebagai presiden RI dua periode terang-terangan terlibat dalam penentuan kuasa pascapilpres 2024. Secara politik yang lebih dalam memang sikap Jokowi sedemikian merupakan suatu kewajaran dalam berpolitik di tengah iklim demokrasi yang semakin tak menentu. Menguatnya peran Jokowi dalam penentuan arah politik negera menuju 2024 secara tidak langsung menunjukkan bahwa Indonesia telah secara terang-terangan menampakkan dirinya sebagai negara kekuasaan.
Sejak berlakunya pemilihan umum di Indonesia memang tampak ada upaya untuk ditutupi bahwa seolah-olah Indonesia sedang menjalani pemilu secara demokratis. Padahal, demokratis yang dijalani sangatlah dangkal. Kedangkalan demokratis ini bukan saja disebabkan oleh potret pemilihan umum, tetapi juga arahn kekuasaan sangat ditentukan oleh kaum korporasi-taipan yang terendus di balik kekuatan politik.
Kemudian, kedangkalan demokratis tersebut juga dapat dilihat dari perkembangan pemilu yang cenderung dilihat dari bertambah atau rigitnya aturan terkait kepemiluan. Justru yang semakin mengejutkan adalah tanpa disadari dari proses pemilu yang dianggap semakin demokratis namun nyatanya demokrasi di Indonesia telah mengalami kematian. Mungkin saja momen atau fakta politik menuju pilpres 2024 adalah salah-satu bukti bahwa demokrasi di Indonesia memang telah tiada.
Pascakepemimpinan presiden Jokowi dua periode, tepatnya setelah kompromistik Jokowi-Prabowo pascapilpres 2019, Indonesia tampak semakin jujur mengakui sedang mengkonsolidasi kekuatan politik lintas elite. Sehingga gerakan politik poros Jokowi-Prabowo dengan diperkuat oleh koalisi besar (Koalisi Indonesia Maju) tampak semakin dinamis menguat dalam mengendalikan alat-alat kekuasaan. Dengan kondisi realitas politik seperti ini pula dapat dibuat sebuah hipotesa bahwa pilpres 2024 akan dimenangkan oleh poros yang lebih menguasai alat kekuasaan. Artinya, pilpres 2024 yang terjadi saat ini adalah persaingan politik antara poros politik yang menguasai kekuasaan dengan poros yang lebih menguasai kekuasaan.
Jadi, dalam negara kekuasaan yang awalnya didambakan sebagai negara hukum telah menyebabkan tidak ada celah ekspres untuk kembali menghidupkan demokrasi di Indonesia. Terlebih dominasi partai politik dalam menentukan siapa calon presiden dan wakil presiden sangat dominan, ditambah lagi dengan derasnya arus politik sentralistik dalam menimpa postur politik di daerah. Suasana politik seperti ini tentunya dapat dibayangkan bagaimana arah pilkada serentak? Tentu jawaban kuncinya kemudian terletak pada rezim atau yang berkuasa.
Tanpa menggerus optimisme politik, demikian halnya terkait netralitas politik dalam konteks tertentu bagi penyeleenggara negara (ASN/TNI-Polri) dan juga penyelenggara pemilu. Padahal, secara realitas peningkatan karir birokrasi di negeri ini mesti diraih secara kedekatan politik dengan penguasa.
Sederhananya, ciri negara kekuasaan dapat dilihat bukan saja dari dominasi partai politik yang mengendalikan gerak-gerik program pemerintah, tetapi juga dari kebijakan-kebijakan strategis negara yang lebih menguntungkan para penguasa, apakah itu kebijakan lebih berorientasi korporasi ataupun ruang politik jangka panjang.
Dalam negara kekuasaan, politik partisipasi publik semakin melemah sebagai akibat transaksional politik di lingkungan masyarakat yang semakin menguat. Mustahil hilangnya politik uang atau jual beli suara saat pemilu adalah sebuah keniscayaan dalam negara kekuasaan. Bertahan kuatnya transaksi politik di tengah aktivitas rakyat Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh pola kekuasaan dalam mengendalikan pemilu, tetapi juga erat kaitannnya dengan kemampuan elite partai politik dalam mengelola kesenjangan sosial rakyat Indonesia, baik itu dari sisi ekonomi kerakyatan, ketimpangan hukum hingga korupsi yang semakin menggila oleh penyelenggara negara.
Diakui atau tidak, cara menyikapi Indonesia sebagai negara kekuasaan inilah sejatinya publik mesti didorong untuk terus melatih kemandirian dalam bernegara. Konsep ketergantungan terhadap negara atau penyelenggara negara mesti terus dievaluasi seiring dimassifkannya program-program pencerdasan publik terkait bagaimana dampak dari kerja-kerja politik yang jarang dibuka oleh penyelenggara negara. Sudah saatnya publik melihat secara jernih terkait bagaimana Indonesia dikelola saat ini. Yang berkuasa akan selalu menang, dan yang menang adalah yang canggih dalam bermain curang.