Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah siap menyatakan diri untuk bertanding di pilpres 2024, (Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, Prabowo-Gibran). Seiring dengan itu, penampakan iklim politik terus memanas di level pendukung tertentu, bahkan seperti baku hantam satu sama lain. Berbagai propaganda negatif menghantui anak bangsa. Berbagai muatan konten merusak akal sehat rakyat tak terbendung. Politik secara perang seolah-olah adalah satu-satunya jalan bagi relawan dalam memenangkan pasangan capres/cawapres yang didukungnya.
Diasadari atau tidak, demarkasi kesadaran atau kedewasaan politik antara elite dan rakyat di negeri ini ibarat bumi dan langit. Artinya, residu politik cenderung kuat mengendap ke bawah, baik dalam bentuk polarisasi kebencian, sikap merendahkan pandangan politik lawan, hingga menarik batas kekuasaan menjadi mereka dan kita. Sehingga tidak jarang terlihat saat ada kubu politik yang kalah akan cenderung tersingkirkan. Padahal, para elite yang tampak seperti bersengketa pada suatu-waktu akan berkompromi atas nama kepentingan negara dan bangsa.
Mencermati arah perkembangan politik kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dari masa ke masa, memang terlihat bahwa Indonesia cenderung menguat pada mekanisme kerja negara kekuasaan, termasuk dalam hal konstlelasi politik lima tahunan justru yang sulit terjadinya rekonsiliasi dan kompromi adalah di kalangan bawah.
Masih adanya kedangkalan makna dalam memahami pesta rakyat, pesta demokrasi. Justru yang cenderung terjadi adalah petaka rakyat yang semakin menimbun beban dari lima tahunan ke lima tahunan selanjutnya.
Kedangkalan memaknai pesta rakyat tersebut juga tidak beriringan dengan kesadaran bahwa ada antara relasi peningkatan saham para elite politisi tertentu dalam setiap ajang pemilu berlangsung, demikian halnya dengan peningkatan angka konsumen, belanja dan sebagainya yang kemudian melipatgandakan kekayaan kaum korporat, apakah itu politisi itu sendiri maupun mitra di belakangnya.
Sederhananya, bagi rakyat cenderung pilpres adalah pertaruhan nasib, sehingga seolah-olah sedang berjihad dan rela mempertaruhkan nyawanya dalam menghadang musuh politik. Kedewasaan politik rakyat tampak semakin lama semakin menipis dan melapuk. Kondisi seperti ini seolah-olah publik percaya seutuhnya dengan niat baik partai politik dalam memperbaiki negeri ini agar semakin deokratis. Namun demikian realitas yang teradi adalah penguatan dinasti politik, baik di tingkat pemerintahan pusat hingga daerah.
Terlepas apakah dinasti politik tersebut dapat dimaknai secara positif atau negatif, namun yang ingin disampaikan dalam kajian ini adalah berasadasarkan mekanisme kerja politik kekuasaan di Indonesia hari ini tidak lagi relevan saat berpolitik yang berakhir pada penguatan sikap lempar kebencian di antara rakyat karena beda pendapat, beda pilihan hingga kemudian semakin menambah benalu bagi rapuhnya persatuan rakyat.
Seiring terus berjuang dan menggapai harapan yang lebih baik saat mengikuti atau terjun pada pilpres 2024. Sudah seharusnya semua pihak senantiasa berpolitik secara sumringah, penuh kegembiraan, menghormati perbedaan, fokus pada adu gagasan, program dan strategi yang mencerdaskan kehidupan bangsa, hingga menjauhkan cara-cara kampanye hitam yang justru menambah tumpukan bercak noda di pentas kekuasaan di republik ini.
Memang benar bahwa tidak satu pihak pun yang mampu menjamin agar semua pihak di republik dapat berpolitik secara sumringah, sebeb bagian-bagian organ dalam ikut serta dalam pertandingan yang bernama pilpres tersebut justru dengan sengaja mengelola konflik dengan menebar praktik kampanye hitam. Atas dasar tidak ada jaminannya semua pihak untuk mampu berpolitik secara sumringah, maka dari itu sudah menjadi tugas bersama bahwa pendidikan politik publik tersebut mesti terus diperkuat meskipun publik telah mengantongi pilihan calon presiden dan wakil presidennya.
Sudah saatnya setiap poros politik yang berkonstelasi di pilpres 2024 mampu mengontrol arus para pendukungnya agar tidak menambah masalah bagi rakyat dalam perkembangan politik, jika hal ini terus dibiarkan, maka nantinya yang selalu menjadi korban adalah rakyat itu sendiri. Sebab sudah menjadi ciri kekuasaan yang amat kental di republik ini bahwa ruang dialog dan kompromi akan selalu terbuka di kalangan elite, namun tidak di kalangan rakyat. Posisi rakyat sebelum dan setelah pilpres berlangsung sepadan dengan kata pepatah “sudah jatuh tertimpa tangga pula”.
Hal ini bukan saja terdambak oleh rakyat jelata, tetapi juga tertimpa pada pengurus-pengurus partai politik yang tidak begitu berpengaruh di partainya. Sungguh merupakan suatu yang distorsi ketika gelanggang politik ditabuhkan genderang perang oleh elite politisi, padahal mereka secara tidak langsung dengan tanpa jujur sedang membangun kekuatan sembari membangun harga tawar kekuasaan golongannya mulai detik ini dan kemudian hari.
Lantas, jika kenyataannya sedemikian, mengapa rakyat seperti tidak sadar bahwa ia berpotensi membajak dirinya sendiri untuk menjadi tumbal-tumbal kemenangan elite saat pilpres telah usai? Untuk itulah penulis mengajak pembaca bahwa bepolitiklah seolah-olah tanpa beban, menjemput harapan, dan mengedepankan sikap sumringah.