Ambon, Indolensa – Ketegangan memuncak! Gereja Menara Iman Negeri Passo kini berada di ujung eksekusi, memicu bentrokan kepentingan antara Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan masyarakat adat Negeri Passo.
Menanggapi aksi unjuk rasa besar-besaran yang menolak eksekusi gereja, Ketua MPH Sinode GPM, Pendeta Elifas T. Maspaitella, menegaskan bahwa langkah ini bukan tindakan sepihak, melainkan hasil putusan Mahkamah Agung yang harus dijalankan.
“Gereja bukan sekadar bangunan, tetapi tentang persaudaraan. Kami ingin saudara-saudara yang menolak eksekusi ini kembali bersatu dalam GPM seperti dulu,” ujar Pendeta Elifas dalam konferensi pers, Senin (3/2/2025).
Eksekusi 5 Februari: Pemulihan Kepemilikan atau Pemaksaan?
Pendeta Elifas memastikan bahwa eksekusi pada 5 Februari 2025 bukan berarti perobohan gereja, tetapi penegasan kepemilikan sah berdasarkan hukum.
Namun, masyarakat adat Negeri Passo tidak tinggal diam! Mereka tetap berpegang teguh bahwa gereja ini adalah warisan leluhur mereka, bukan milik GPM. Bahkan, mereka memperingatkan bahwa jika gereja tetap dieksekusi, mereka akan merebut kembali seluruh aset GPM yang berdiri di atas tanah adat!
“Kami menghormati hukum, tetapi jangan lupa sejarah! Gereja ini dibangun oleh darah dan keringat leluhur kami. Jika mereka mengambilnya, kami akan mengambil kembali apa yang jadi milik kami!” tegas seorang tokoh adat dalam aksi protes.
Jalur Hukum atau Bentrokan? Semua Mata Tertuju pada 5 Februari!
Sinode GPM menyatakan akan tetap mengikuti jalur hukum, namun protes dari masyarakat adat bisa berubah menjadi perlawanan yang lebih besar.
Akankah ada jalan damai? Ataukah 5 Februari akan menjadi hari yang mengukir sejarah baru dalam konflik kepemilikan gereja di Maluku?
Publik kini menanti: Hukum, adat, atau konflik? Siapa yang akan menang dalam pertarungan ini?