Kemerdekaan yang Terjebak

Ada sederet realitas di negeri ini yang mengganjal cita-cita proklamasi Republik Indonesia. Realitas yang dimaksud di antaranya adalah terkait potret keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Seiring realitas itu pula negeri ini juga disuguhi dengan “kado kemerdekaan” terkait korupsi gila-gilaan di lembaga pemerintah, diskon hukuman, aliran pencucian uang, hingga penyalahgunaan kekuasaan dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah desa.

Mencermati situasi dan kondisi Indonesia hari ini, sekaligus umur kemerdekaannya telah sampai pada angka ke-78. Tentu dengan angka sedemikian tidak bisa dilepaskan dari berbagai peluang dan ancaman yang melekat padanya. Boleh jadi Indonesia akan semakin maju dengan peluang bonus demofrafinya, dan boleh jadi pula Indonesia gagal memanen bonus demografi dengan maksud tertimpa petaka demografi di kemudian hari.

Bacaan Lainnya

Ada beberapa pisau analisis yang digunakan dalam kajian ini, di antaranya adalah analisa dari sektor arus kekuasaan yang berkaitan dengan oligopoli, monopoli, oligarki dan seterusnya yang cenderung menentukan perkembangan Indonesia hari ini dan dikemudian hari. Juga terkait analisa soal tatakelola birokrasi yang tidak bisa lepas dari hasrat partai politik sebagai pengendali republik. Sehingga melalui dua analisa yang disinggung di atas dapat menggiring kita pada sebuah benang merah bahwa Indonesia sulit dibantah jika disebut sebagai negara kekuasaan. Meskipun secara teoritis masih ada yang menyebut Indonesia adalah negara hukum.
Dalam perspektif sejarah kenegaraan, khsusnya Indonesia, mungkin saja kekuasaan atau rezim terdahulu dapat menentukan kekuasaan di masa depan. Namun mungkin pula kekuasaan atau rezim hari ini meluluhlantakkan kekuasaan di masa terdahulu. Fenomen kenegaraan dan kekuasaan Indonesia hari ini tanpa disadari sedang berada pada situasi pertempuran untuk memutakhirkan kekuasaan, dengan tidak menyebutnya pusaran kekuasaan lebih menghabiskan tenaga dari pada mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Sebut saja misalnya partai politik terbesar di negeri ini (PDI-P) sedang fokus berusaha untuk memenangkan pilpres untuk ketiga kalinya. Tentu praktik “menghalalkan segala cara” mengindap dalam pergerakan politik tersebut. Salah-satu buktinya dapat dicermati dengan maraknya para relawan atau influenser yang bertempur saling merendahkan satu sama lain, sehingga politik kekuasaan di Indonesia identik dengan keterbelahan, lempar api sembunyi tangan. Sederhananya, arus bawah terbelah, elite kuasa rekonsiliasi dan kompromi.

Potret perkembangan kekuasaan di Indonesia sedemikian bukan saja terjadi di masa Presiden Joko Widodo, jauh dari itu, masa sebelumnya juga mengalami saling tikung antar rezim. Sebut saja rezim Gus Dur dianggap tidak cocok dengan rezim Megawati. Rezim Soekarno dianggap bermain mata dengan rezim Soeharto, demikian seterusnya menyisakan pertikaian. Memang dalam panggung kekuasaan berlaku siapa yang memegang kendali, maka semua tatanan kenegaraan akan menyesuaikan dengan keinginan si-pengendali. Dalam konteks inilah sejatinya kemerdekaan rakyat bersifat ilusi, ditambah lagi dengan praktik monopoli politik dan politik padat modal yang semakin mewabah di republik ini.

Pada posisi inilah jebakan politik terus dilanggengkan. Jebakan politik ini cenderung, bahkan selalu tidak berpihak kepada aspirasi rakyat. Jikapun ada, namun tidak berbanding lurus dengan prioritas kesejahteraan di kalangan elite penguasa. JIka terus menyelami arus kekuasaan lebih dalam di republik ini, maka yang terlihat adalah kesenjangan sosial yang abadi. Yang dekat dengan penguasa berpotensi akan sejahtera, yang jauh atau berlawanan dengan penguasa akan terus tergilas. Daya laju kekuasaan seperti inilah yang menjadikan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia terjebak dengan sistem kekuasaan yang dijalaninya sendiri.

Lantas adakah harapan untuk memperbaikinya? Meskipun harapan selalu ada, demikian pula ruang jebakan itu juga selalu ada. Oleh karena itu, kenyataan kemerdekaan Indonesia hari ini sejatinya bukan untuk sekadar direfleksi, melainkan juga untuk didobrak agar kekuasaan tidak berjalan liar dan menjadikan rakyat jelata sebagai tumbal dari kebijakan penguasa yang saat ini belum massif mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kedamaian sebagai warga negara Indonesia.

Pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana cara melepas kemerdekaan yang terjebak tersebut? Satu cara di antaranya adalah menciptakan kedaulatan rakyat dengan menghadirkan mentalitas publik yang tidak dapat dibodohi atau dimonopoli di setiap agenda politik lima tahunan, baik itu di level pemerintahan pusat, daerah maupun desa. Sebab cita-cita kemerdekaan tidak dapat tercapai jika penguasanya terus bermain mata dengan ketidakadilan dalam menciptakan berbagai kebijakan di tanah air.

Pos terkait