Menggalakkan Penulisan Opini di Kalangan Mahasiswa

Oleh Farma Andiansyah, M.E, Direktur SKM Cabang Aceh Tenggara.

Meskipun masih ada perdebatan antara pemahaman para penulis esai, opini, artikel populer, paling tidak praktik tulis-menulis mesti terus ditingkatkan oleh generasi muda dari pada terperosok ke dalam simpang-siur dalam memahami perbedaan antara esai, opini dan artikel bebas. Dalam arti kata, melahirkan karya tulis jauh lebih penting bagi generasi muda dari pada tenggelam dalam kesulitan dalam memahami perbedaan antara esai, opini maupun artikel bebas. Padahal semua ini satu rumpun.

Demikian halnya masih ada semacam “keangkuhan intelektual” dari kalangan tertentu saat memandang karya dalam bentuk jurnal atau skripsi, tesis, bahakan disertasi dianggap merupakan karya yang jauh lebih baik dari pada tulisan dalam bentuk opini, esai atau artikel.

Bacaan Lainnya

Demikian halnya pula masih ada anggapan bahwa puisi tidak lebih baik dari jurnal yang diterbitkan kampus. Dalam konteks inilah sejatinya Sekolah Kita Menulis (SKM), baik itu dari pengurus pusatnya maupun dari seluruh cabang SKM yang bertebaran di beberapa wilayah Indonesia ingin terus membuka kesadaran bahwa setiap genre atau bentuk penulisan memiliki peruntukan dan kelebihannya masing-masing tanpa merendahkan satu sama lain.

Artinya, jika ada dosen atau elite yang menciptakan puisi, bukan berarti dosen atau elite tersebut lebih rendah karyanya dari seorang magister yang menulis disertasi. Demikian pula adanya kalangan mahasiswa yang aktif menulis opini, bukan berarti opini mahasiswa tersebut jauh lebih rendah dari karya seorang dosen yang menulis jurnal. Demikian seterusnya.
Meskipun masih ada yang menilai bahwa opini adalah semata-mata pendapat pribadi atau lebih mengandung subjektivitas tinggi sehingga tingkat akurasinya lebih tidak lebih baik dari jurnal, namun sejatinya tidaklah sedemikian.

Bagaimana dalam persoalan bahwa opini tersebut diciptakan oleh guru besar? Apakah opini guru besar tersebut lebih buruk dari jurnal seorang sarjana atau megister dan doktor? Tentu titik ukur benar atau kurang benarnya bukan terletak pada penamaan opini atau jurnal bukan? Melainkan kualitas penulisnyalah yang menentukann suatu ke-validitas, ketajaman, kecocokan dan seterunya mengenai tulisan.

Terlepas dari kerumitan perdebatan dari semua rumpun tulisan itu, dalam konteks pengembangan literasi agal lebih mendominasi dalam proses pembentukan karakter generasi muda, khususnya mahasiswa, barangkali dengan menggalakkan pendekatan menulis opini akan secara tidak langsung menggiring mahasiwa untuk terus terdorong dalam membaca, menganalisis, meneliti, berdiskusi, berdebat hingga menulis.

Sungguh disayangkan ketika aktivitas dalam mendorong mahasiswa dijauhkan dalam menulis opini/esay/artikal. Sebab, kemampuan berfikir kreatif dan mengurai permasalahan terbarukan hingga upaya mensiasati penyelesaian masalah akan diperoleh oleh mahasiswa ketika aktif menulis opini. Sebab opini itu bukan saja praktis untuk ditulis, juga opini mengandung daya kebaruan yang tinggi dalam menggiring mahasiswa dalam merespons fenomena yang sedang hot diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat.

Bukankah sejatinya karya tulis tersebut tidak boleh jauh dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa? Lantas mengapa ada poros intelektual yang enggan menulis opini dan hanya menulis untuk persoalan mengurus pangkat semata? Dalam situasi dan kondisi seperti inilah kehadiran SKM berupaya untuk terus mencerahkan generasi bahwa muara dari segala karya tulis tersebut adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimulai dengan cara memberikan pencerahan dengan cara melemparkan analisa ke ruang publik, atau berbagi cara duduk pikir dalam menguraikan suatu persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.

Dengan mempersuasif atau mendorong mahasiswa untuk aktif menulis opini, maka secara tidak langsung mahasiswa akan memiliki daya kritis dan kreatifitas yang semakin meningkat. Sebab pada saat hendak menulis, mereka tidak hanya bisa berdiam diri saja, apalagi melakukan plagiasi, sebab menulis opini secara berkelanjutan membutuhkan serangkaian usaha seperti membaca buku, berita, berdiskusi dan seterusnya hingga berlatih menulis.

Melalui keberadaan SKM Cabang Aceh Tenggara ini pula, sejatinya kita semua perguruan tinggi tidak keliru rasanya untuk terus berkolaborasi untuk menggalakkan mahasiswa bahkan para dosen atau guru untuk aktif menulis opini yang mencerahkan masyarakat atau generasi muda.

Dengan menggalakkan tulis-menulis ini, sesuai kajian yang telah dilakukan oleh SKM, bukan saja minat baca yang akan ditumbuhkan, tetapi minap berliterasi secara luas juga akan berpotensi semakin meningkat. Melalui harapan cara berliterasi sambil menyelam minur air yang dilakukan SKM ini kita masih optimis bahwa upaya meningkatkan sumber daya manusia di Aceh, khususnya di Aceh Tenggara akan fokus kembali sebagai program prioritas dan strategis untuk dijalankan, bukan sebaliknya, dibiarkan tanpa aksi yang jelas.

Pos terkait