Maluku Tengah, Indolensa – Ketika laut melimpah, tapi meja makan tetap kosong, pertanyaan besar muncul: ada apa dengan sistem pangan kita? Kabupaten Maluku Tengah mencatat inflasi tertinggi di Provinsi Maluku per Maret 2025, yakni 5,07 persen. Lonjakan ini mencuat tajam dibanding bulan sebelumnya yang hanya 2,85 persen. Penyumbang utama: ikan tongkol, nasi dengan lauk, beras, tomat, dan ikan selar.
Wakil Bupati Maluku Tengah, Mario Lawalata, dalam rapat koordinasi lintas sektor, menyebut kondisi ini sebagai sinyal bahaya.
“Ini bukan sekadar angka. Ini potret nyata krisis pangan di tingkat rumah tangga. Jika tidak ada langkah konkret, kita akan menghadapi guncangan sosial,” tegasnya, Kamis (17/4).
Harga ikan yang biasanya menjadi penyelamat dapur masyarakat kini justru menjadi pemicu krisis. Padahal Maluku Tengah dikenal sebagai daerah penghasil ikan. Namun tanpa fasilitas penyimpanan memadai seperti cold storage dan jalur distribusi yang efisien, hasil laut justru sulit dijangkau oleh rakyatnya sendiri.
“Potensi laut kita besar, tapi kalau infrastruktur lemah dan distribusi kacau, kita justru menciptakan kelangkaan di tengah kelimpahan,” ujar Haris Banjar, Kepala Dinas Perikanan.
Rapat darurat yang digelar di lantai II Kantor Bupati Malteng itu dihadiri jajaran pimpinan OPD, termasuk Plt Kepala BPKAD La Baiena, Asisten II Julius Boro, Staf Ahli Bupati Zahlul Ikhsan, serta perwakilan Dinas Perdagangan dan Ketahanan Pangan. Mereka membahas strategi pengendalian inflasi, mulai dari mempercepat penyediaan cold storage, memperbaiki rantai pasok, hingga mengontrol harga pasar secara digital.
Mario tak menutupi kekecewaannya terhadap kinerja OPD yang dinilai kurang responsif.
“Tidak ada ruang untuk kerja santai saat rakyat sedang kesulitan makan. Setiap instansi harus bergerak sebagai satu sistem. Kalau tidak, rakyat akan menilai pemerintah gagal penuhi kebutuhan dasarnya,” tegasnya.
Kondisi ini bukan hanya soal angka inflasi, tapi soal keadilan pangan di tanah yang kaya sumber daya. Ketika harga ikan melonjak di wilayah penghasil ikan, maka masalahnya bukan di laut, tapi di darat—tepatnya pada manajemen dan keberpihakan kebijakan.
