Ambon, Indolensa.com – Polemik terkait status kepemilikan lahan Asrama Militer (Asmil) OSM di Kota Ambon kembali menjadi sorotan publik. Rehabilitasi rumah prajurit yang dilakukan Kodam XV/Pattimura mendapat protes dari pihak ahli waris keluarga Jozias Alfons yang mengklaim lahan tersebut sebagai bagian dari wilayah adat mereka.
Salah satu media online, TribunMaluku.com, memberitakan bahwa Evans Reynold dan Rycko Weynner Alfons, ahli waris dari 20 potong Dusun Dati milik mendiang Jozias Alfons, melayangkan protes keras atas aktivitas pembangunan yang berlangsung di atas tanah yang mereka klaim sebagai hak waris sah.
Menanggapi hal ini, Kapendam Kodam XV/Pattimura, Kolonel Inf Heri Krisdianto, menegaskan bahwa program renovasi tetap dilanjutkan karena lahan tersebut merupakan aset milik negara yang berada dalam penguasaan Kodam XV/Pattimura.
“Yang akan direhab adalah rumah prajurit di tanah Asmil OSM yang merupakan barang milik negara, bukan milik masyarakat,” tegas Kolonel Heri.
Ia menjelaskan bahwa tanah tersebut merupakan bekas hak barat berdasarkan Eigendom Verponding Nomor 984 atas nama Pemerintah Hindia Belanda sejak 1925, yang kemudian digunakan sebagai Sekolah Pelatihan Maritim Belanda. Sejak 1958, sebagian tanah tersebut digunakan Kodam XV/Pattimura sebagai asrama militer dan telah terdaftar dalam sistem SIMAK BMN TNI AD.
Menurut Kapendam, perkara hukum terkait tanah ini juga telah diproses di Pengadilan Negeri Ambon melalui gugatan No. 54/PDT.G/2013/PN.AB oleh 97 penghuni kompleks. Gugatan tersebut ditolak seluruhnya oleh pengadilan dan diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Ambon No. 42/PDT/2014/PT.AMB.
“Putusan tersebut telah inkracht. Maka status tanah tetap sebagai aset negara dalam penguasaan Kodam XV/Pattimura,” ujar Kapendam.
Namun, pihak ahli waris Jozias Alfons menyampaikan klarifikasi resmi dalam bentuk press release tertanggal 10 April 2025. Mereka menyatakan bahwa lahan Asmil OSM termasuk wilayah Dusun Dati Kudamaty yang merupakan bagian dari tanah adat milik keluarga mereka, berdasarkan kutipan Register Dati 1923. Mereka menegaskan bahwa keberadaan dokumen kolonial eigendom tidak menghapus eksistensi hak adat.
“Kami tidak menolak renovasi rumah prajurit. Tapi kami menolak pembangunan yang dilakukan di atas tanah adat yang statusnya masih disengketakan,” tulis Rycko dan Evans dalam rilis resmi mereka.
Ahli waris juga menyampaikan bahwa dalam perkara No. 54/PDT.G/2013/PN.AB, selain gugatan para penghuni ditolak, gugatan rekonvensi Kodam juga tidak dikabulkan, yang menurut mereka menunjukkan bahwa pengadilan tidak menetapkan status kepemilikan secara mutlak kepada salah satu pihak.
Lebih jauh, mereka mengklaim memiliki dasar hukum kuat melalui beberapa putusan lain, seperti putusan No. 3410K/Pdt/2017 dan putusan No. 2025.K/PDT/1983 yang menurut mereka memperkuat klaim kepemilikan atas tanah adat.
Dalam pernyataan tersebut, mereka mengajukan beberapa tuntutan: penghentian sementara renovasi, audit hukum independen, serta pelibatan Komnas HAM, Kementerian ATR/BPN, dan Pemerintah Daerah dalam penyelesaian konflik.
Sengketa ini mencerminkan kompleksitas persoalan pertanahan yang melibatkan dokumen kolonial, kepentingan pertahanan negara, dan eksistensi hukum adat. Jalan tengah berupa dialog terbuka dan mediasi hukum diharapkan dapat menjadi solusi, agar tidak menimbulkan ketegangan di masyarakat.
Di tengah gencarnya pembangunan dan modernisasi, penghormatan terhadap nilai-nilai adat dan penyelesaian yang adil menjadi landasan penting untuk menjaga harmoni di Tanah Maluku.