Memilih Pengkhianat

Oleh Zulfata, Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)

Praktik pengkhinatan dalam politik lumrah terjadi. Dinamisnya sikap dalam berpolitik sering menjadikan politik bebas nilai serta tafsirannya. Sehingga berkhianat dalam politik dianggap biasa-biasa saja dalam berdemokrasi. Lebih lanjut, berkhianat barangkali telah dianggap seni berpolitik di era pasca kebenaran. Berbagai fakta dan propaganda ditata dan disulap sedemikian rapinya, sehingga mampu membangun semangat politik publik yang terpaksa berlutut dan menyembah kekuasaan.

Politik kewargaan perlahan-lahan berubah menjadi politik pengkhianatan. Nilai dan praktik khianat menyublim dan menyebar hampir ke seluruh penjuru, tidak hanya antar elite, tetapi juga antar elite dengan rakyat, antar warga dengan warga, bahkan antar internal keluarga. Pada pemaknaan ini pula barangkali tidak keliru menyebut bahwa politik itu indentik dengan pengkhinatan.

Bacaan Lainnya

Mencermati detik-detik terakhir pada penentuan capres-cawapres 2024, bahkan hingga pilpres 2024. Kata pengkhianat akan terus bermunculan di ruang publik. Pengkhianat teriak pengkhianat lumrah teradi di setiap perhelatan pilpres di Indonesia. Hal ini dapat dianggap wajar karena bangunan politik di Indonesia cenderung diawali oleh hasrat pengkhianatan. Pengkhianatan rakyat Indonesia. Berbagai motif visi dan misi pemenangan politik lebih cenderung bermuatan agenda pengkhianatan.

Lingkaran setan untuk saling mengkhinati bukan saja sering terjadi pada tahapan awal, sedang atau setelah koalisi didesain. Melampaui itu, praktik pemilih yang mengkhinati nalurinya sendiri sungguh marak terjadi. Buktinya, masih massifnya gerakan merawat dapil atau pemilih dengan praktik haram yang melanggengkan jual beli suara. Para calon wakil rakyat yang telah terbukti pernah menjadi koruptor kembali dibentangkan karpet merah untuk kembali untuk dapat menerima mandat rakyat. Semesta politik Indonesia bahkan telah menjadi semesta pengkhianatan. Mulai dari pengkhianatan sejarah, pengkhianatan Pancasila dan terus mewariskan pengkhianatan cita-cita proklamasi.

Pendewasaan politik di Indonesia terkadang dapat dilihat dari sejauhmana para makhluk politik dapat memaklumi pengkhinatan politik tersebut. Atas nama banyak jalan dan pilihan, serta saling menghormati keputusan politik pihak lain secara tidak langsung telah membonsaikan kesadaran bahwa seolah-olah tidak ada yang namnya pengkhinatan dalam politik. Oleh karena itu, wajah politik Indonesia sejatinya makin lama semakin membahayakan bagi nasib dan hajat hidup rakyat jelata. Sejarah mungkin berulang. Kolonial dan imperial politik terus abadi.

Meski tidak disetujui, pengkhianatan adalah ciri khas politik Indonesia sejak terpilihnya presiden pertama republik ini. Berbagai praktik pengkhianatan sejak orde lama, orde baru, reformasi hingga kini. Praktik pengkhianatan tersebut sengaja dibungkus dan dikemas secara baik agar tidak muncul di permukaan. Sehingga pada perkembangan seterusnya politik pengkhianatan diyakini sebagai sesuatu yang wajar. Tentu keyakinan sosial politik seperti ini dapat menjadi bencana kemanusiaan dari masa ke masa.

Maka dari itu, tidak dapat kita mengelak untuk tidak memilih pengkhianat, sebab proses menciptakan pemimpin sungguh dekat dengan praktik-praktik pengkhianat. Jika ditelusuri lebih jauh. Ada suatu keyakinan moral bahwa “Jika berkata ia berdusta. Jika berjanji ia mengingkari. Jika dipercaya ia berkhianat”. Keyakinan moral ini tentu bertolak belakang dengan perkembangan politik kekinian.

Oleh karena itu, jangan heran bahwa setiap agenda pengkaderan politik atau proses regenerasi pemimipin selalu dibayangi oleh praktik-praktik pengkhianatan. Parahnya, strategi politik pengkhianat ini cenderung dijadikan inspirasi politik lintas generasi. Berkhianat dan curang dalam meraih kekuasaan jauh lebih mulia dibandingkan jujur dan kalah secara terhormat. Kehidupan politik hari ini semakin kering dan haus kekuasaan. Yang zalim lebih berpotensi menang dan berkuasa dari pada yang jujur. Meskipun pemimpin yang jujur nyaris tidak ada lagi selama di bawah komando pemimpin partai politik yang terus membajak kedaulatan rakyat.

Diakui atau tidak, calon-calon pemimpin bangsa ini akan terus diisi oleh para pengkhianat, akan terus dipilih oleh pengkhianat, serta pemilihan umum identik dengan pesta pengkhianatan. Demikian halnya para penyelenggara pemilihan umum, bagaimana mungkin keadilan politik lahir dari penyelengara yang secara politik telah diorbit dan diorder oleh garbong pengkhianat.

Atas diskursus analisis inilah Indonesia akan terus berkubang dari pengkhianatan terdahulu ke pengkhiantan masa kini. Jika kesadaran moral para pemilih atau rakyat tidak lebih kuat dari jangkauan gurita politik pengkhiatan, maka jangan heran Indonesia akan terus terperosok tak berdaya dan akan terus memilih pengkhianat untuk menjadi pemimpinnya.

Pos terkait