Drama Hukum Corner 52 dan Pertanyaan Besar untuk Penegak Keadilan
Di negeri hukum yang kita cintai, Sertifikat Hak Milik (SHM) selalu digambarkan sebagai “mahkota tertinggi” dalam sengketa tanah. SHM adalah bukti terkuat menurut undang-undang—bahkan telah diuji dan menang dalam berbagai gugatan.
Namun kisah yang terjadi pada lahan Corner 52 justru memperlihatkan sebuah ironi besar: sertifikat sah yang telah dimenangkan di berbagai tingkatan justru “tertinggal” oleh sebuah Surat Perintah Eksekusi yang muncul dengan kekuatan luar biasa.
Elegan dalam Kejanggalan: Ketika Fakta Hukum Dibalikkan
Pemilik SHM datang dengan bukti kuat:
Sertifikat sah
BPN menerbitkan penegasan bahwa objek tersebut bukan objek sengketa
Putusan pengadilan sebelumnya memenangkan pemilik lahan
Namun keangkuhan fakta tersebut seolah tidak berarti ketika berhadapan dengan kekuatan sebuah penafsiran eksekusi yang dianggap publik sebagai terlalu “luwes”.
Dalam pandangan banyak pihak, proses ini menimbulkan indikasi kejanggalan serius, terutama ketika objek yang dieksekusi diduga tidak sesuai dengan objek putusan.
Sebuah pertanyaan besar pun lahir:
Bagaimana mungkin objek berbeda, tetapi eksekusi tetap berjalan seolah semuanya normal?
Ketika Pengadilan Dituntut Hadir, tetapi Kursinya Kosong
Ketidakhadiran pimpinan PN Manado dalam RDP DPRD—sebuah forum resmi—membangkitkan semakin banyak tanda tanya.
Publik mengharapkan klarifikasi, namun yang hadir justru keheningan.
Apakah ini adalah bentuk elegansi? Atau bentuk pengabaian?
Yang jelas, masyarakat menilai bahwa ketidakhadiran untuk memberikan penjelasan justru memperdalam kecurigaan bahwa ada sesuatu yang ingin disembunyikan atau dihindari.
“Sertifikat Sakti”: Istilah Baru dari Kejanggalan Hukum?
Dalam drama Corner 52, publik mulai menyebut adanya “sertifikat sakti” — bukan dalam arti harfiah, tetapi sebagai gambaran bahwa ada surat perintah eksekusi yang dianggap memiliki kekuatan melampaui:
Sertifikat Hak Milik yang sah
Putusan yang sudah inkrah
Penegasan BPN
Prinsip kepastian hukum
Sebuah metafora satir, namun lahir dari rasa frustrasi terhadap proses yang dianggap tidak logis dan jauh dari asas keadilan.
Pesan Keras untuk PN Manado: Keadilan Tidak Boleh Menjadi Seni Akrobatik
Keadilan tidak boleh dipertontonkan seperti seni akrobatik, di mana fakta bisa dibengkokkan dan prosedur bisa diperlakukan seleluasa mungkin.
Pengadilan adalah penjaga hukum, bukan produsen polemik.
Kami mendesak:
Mahkamah Agung turun memeriksa kejanggalan proses eksekusi.
Badan Pengawas Peradilan melakukan audit terhadap seluruh tahapan.
Kapolda & Kejaksaan Tinggi membuka komunikasi aktif untuk memastikan tidak ada potensi pelanggaran prosedur.
PN Manado memberi penjelasan publik secara terbuka dan bertanggung jawab.
Moral Cerita: Di Sulut, Keadilan Masih Menunggu Keberaniannya Sendiri
Bagi pemilik SHM di Indonesia—khususnya pemilik lahan Corner 52—kemenangan hukum seharusnya menjadi akhir, bukan permulaan drama.
Namun karena apa yang terjadi di Manado, mungkin ke depan pemilik sertifikat harus menambahkan catatan di sudut dokumen mereka:
“Sertifikat ini sah menurut hukum, kecuali jika suatu hari ada interpretasi sakti yang mengalahkannya.”
Itulah satire paling elegan sekaligus paling keras untuk menggambarkan keadaan saat ini.
