Mereka sedang membangun harapan di tanah yang oleh banyak orang disebut “zona merah”.
Letnan Dua Inf Michael Riupassa adalah salah satu dari mereka. Ketika tangannya dengan cekatan mengikat kawat pada kerangka patung Yesus yang mulai menjulang, pikirannya mungkin melayang ribuan kilometer jauhnya, ke tempat di mana hatinya berpulang. Namun, lamunannya buyar oleh suara tawa. Sekelompok anak-anak Nduga dengan mata berbinar mengerumuninya, menatap takjub pada kerangka raksasa itu. Seketika, Letda Michael tahu persis mengapa ia ada di sini.
“Masyarakat bangga sekali dengan pembangunan ini,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri, saat kami berbicara. “Di sini ada 35 gereja, dan patung ini akan menjadi simbol pemersatu bagi mereka semua.”

Kebanggaan di mata warga itulah yang menjadi bahan bakar di tengah sunyi. Menjadi penawar saat rindu terasa begitu menyiksa. Bagi prajurit-prajurit ini, tugas di Nduga telah melampaui perintah atasan. Ia telah menjadi panggilan jiwa; panggilan untuk hadir seutuhnya bagi rakyat.
Panggilan itu tidak selalu berwujud proyek monumental. Ia menjelma dalam momen-momen kecil yang abadi. Seperti beberapa moment, ketika Letda Michael berjongkok, dengan sabar memakaikan sepatu di kaki mungil seorang anak laki-laki yang bertelanjang kaki. Saat itu, ia tidak sekadar memakaikan alas kaki; ia sedang meletakkan fondasi bagi masa depan anak itu. Atau ketika ia dan rekan-rekannya mengajarkan jurus-jurus silat sederhana kepada para pemuda, mereka tidak sedang mencetak petarung, melainkan menanamkan rasa percaya diri yang telah lama hilang.
“Kami sadar akan tugas dan panggilan kami,” adalah kalimat yang sering terdengar di antara mereka. Diucapkan dengan ketegasan seorang tentara, namun sarat dengan pengorbanan seorang ayah, suami, dan anak. Mereka paham betul, untuk setiap tawa anak Nduga yang mereka saksikan, ada tawa anak atau keluarga mereka sendiri yang terlewatkan di rumah.
Di bawah komando Letkol Inf Julius Jongen Matakena, para Ksatria Masariku ini telah menulis ulang definisi misi mereka. Tujuannya bukan lagi hanya mengamankan, tetapi juga menyembuhkan. Dan obatnya adalah kehadiran, kepedulian, dan kerja nyata.

Proyek Patung Yesus ini menjadi katarsis bagi semua. Bagi warga Nduga, ia adalah doa yang dijawab langit. Bagi para prajurit, ia adalah monumen hidup dari rindu yang mereka korbankan. Setiap adukan semen yang mereka angkat terasa lebih berat, karena di dalamnya tercampur beban kerinduan. Setiap paku yang mereka tancapkan seolah diperkuat oleh janji pada negara dan nurani.
Kelak, ketika patung itu berdiri gagah, dengan kedua tangan terentang seolah memberkati seluruh lembah Nduga, ia tak akan lagi menjadi sekadar struktur beton dan besi. Ia akan bernyawa. Dihidupi oleh ribuan jam kerja keras, jutaan tetes keringat, dan doa-doa sunyi para prajurit yang merindukan jalan pulang.
Ia akan menjadi saksi bisu, bahwa di tanah konflik sekalipun, para ksatria bisa datang bukan untuk menabur peluru, melainkan untuk menanam doa. Dan dunia akan melihat Nduga, bukan lagi dari potret kekerasannya, melainkan dari wajah damai sebuah tugu yang dibangun oleh tangan-tangan tentara yang hatinya penuh cinta.
