Oleh: Silvia Patty
Ambon, Indolensa – Di Kepulauan Rempah, di mana aroma pala dan cengkeh telah menjadi napas sejarah selama berabad-abad, kini merebak wangi baru yang lebih purba dan jujur: bau tanah basah yang dibalik, dan harapan yang ditugal.
Ambon tak lagi sama. Di antara desau angin yang membawa asinnya Laut Banda, ada revolusi senyap yang sedang terjadi. Revolusi ini tidak diusung oleh mesiu, tetapi oleh benih. Panglimanya bukan jenderal perang, melainkan seorang perwira menengah, Letnan Kolonel Infanteri Hari Sandra, yang percaya bahwa kedamaian sejati berakar dari perut yang kenyang dan tangan yang sibuk bekerja.
Komandan Kodim 1504/Ambon ini sedang menulis ulang takdir tanah Maluku. Tanah yang panas, yang sering kali menjadi saksi pertikaian, kini ia jinakkan dengan filosofi sederhana: “Ale tanam apa, ale panen itu.” Kau tanam apa, kau panen itu. Dan yang ia tanam bukan hanya padi gogo—varietas tangguh yang berani menantang lahan kering—tetapi juga benih ketenangan.
Gagasan ini, pada awalnya, terdengar seperti bisikan orang demam. Menanam padi di tanah berbatu yang lebih akrab dengan akar rempah? “Ini Komandan bikin apa lai?” cibir beberapa suara skeptis. Namun, Hari Sandra, dengan mata seorang prajurit dan hati seorang petani, melihat sesuatu yang lain. Ia melihat energi yang meluap-luap di dada masyarakat, energi yang jika salah arah bisa meledak menjadi konflik.
“Daripada urusin berantem, mending kita urus penanaman padi,” ujarnya. Kalimat itu bukan sekadar slogan, melainkan strategi tempur yang dimodifikasi. Medan perangnya adalah lahan-lahan tidur di Airlouw, Saparua, Haruku, hingga Kailolo. Senjatanya bukan lagi SS1, melainkan cangkul dan tugal.

Dari Angka ke Nadi Kehidupan
Di mejanya, peta tak lagi ditandai dengan titik rawan konflik, melainkan potensi panen. “Airlouw sudah dua hektar,” catatnya. “Kailolo siap dua puluh satu hektar. Nusalaut mulai dengan satu karung benih.”
Angka-angka ini adalah denyut kehidupan. Di Haruku yang sakral, setiap jengkal tanah harus direstui upacara adat sebelum benih pertama jatuh. Ini bukan sekadar proyek pertanian; ini adalah diplomasi sunyi, di mana sang Dandim belajar mendengar bisikan leluhur sebelum memberi perintah menanam. Ia memahami, di Maluku, tanah bukan sekadar properti. Tanah adalah ibu, saksi, dan pusaka.
Program ini menjadi orkestrasi besar yang menyatukan banyak pihak. TNI yang biasanya memegang bedil, kini memegang cangkul. Petani yang terbiasa dengan kebun pala, kini belajar membaca musim padi. Pemerintah Provinsi Maluku melihat visi swasembada pangan mereka mulai berbentuk nyata—54 persen target tanam padi gogo tercapai, sebuah angka yang lahir dari keringat bersama.

Padi Gogo: Simbol Penaklukan dan Harapan
Padi gogo adalah metafora yang sempurna untuk Maluku. Ia tak manja, tak butuh irigasi rumit. Ia tumbuh hanya dengan berkah hujan pertama, akarnya kuat mencengkeram lahan miring dan berbatu. Kemampuannya menghasilkan 4 hingga 8 ton per hektar di tanah yang dianggap tandus adalah sebuah keajaiban agraris, sekaligus simbol perlawanan terhadap keputusasaan.
Padi ini adalah jawaban. Jawaban atas tanah yang lama tertidur, jawaban atas perut yang kerap lapar, dan yang terpenting, jawaban atas amarah yang mudah tersulut. Ketika tangan-tangan yang dulu mungkin mengepal kini sibuk menabur, filosofi masohi—gotong royong—hidup kembali. Energi kolektif yang besar itu tidak lagi mencari musuh, tetapi menyambut musim panen.
Di bawah komando Letkol Hari Sandra, tifa perang telah berganti menjadi tifa ladang. Iramanya memanggil orang untuk turun ke tanah, bukan ke arena sengketa. Kini, jika kau datang ke Ambon, hirup udaranya dalam-dalam. Di antara wangi cengkeh dan asin laut yang abadi, kau akan mencium aroma ketiga. Wangi paling seksi dari sebuah perubahan: wangi padi, wangi damai. Wangi dari harapan yang ditanam, yang kelak akan dituai menjadi ketenangan.
