Musda IV Hanura Maluku Ricuh: 9 DPC Tolak Aklamasi, Ancam Gugat ke Mahkamah Partai

Ambon, Maluku – Musyawarah Daerah (Musda) IV Partai Hanura Maluku yang digelar di Ambon, Sabtu (30/8/2025), diwarnai penolakan keras dari sembilan Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Mereka menuding proses pemilihan ketua DPD cacat demokrasi karena hanya mengakomodasi satu rekomendasi calon.

Penolakan ini disuarakan langsung oleh Ketua DPC Hanura Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), Hendrikus Herin, SH, yang menegaskan bahwa hak suara DPC telah diabaikan.

“Kami tidak menolak siapapun. Yang kami tolak adalah proses yang tidak adil. Demokrasi itu musyawarah mufakat, bukan satu rekomendasi yang dipaksakan jadi aklamasi,” kata Hendrikus.

Hendrikus, mantan komisioner KPU dan Ketua Panwas Kabupaten, menilai keputusan DPP yang hanya merekomendasikan satu nama yakni Abas Orno telah mencederai prinsip keadilan. Ia menyebut sembilan DPC, yang mewakili lebih dari 80 persen suara, sepakat menolak jalannya Musda.

Dalam pernyataannya, Hendrikus mengibaratkan Partai Hanura sebagai aliran air jernih yang justru menjadi keruh di tengah perjalanan karena “rekayasa”.

“Kami tidak menuduh siapapun, tetapi ini rekayasa. Hak suara DPC 30 persen sudah dihilangkan. Kalau kami tidak dihargai, apa arti perjuangan kami di lapangan?” ujarnya.

Nada serupa datang dari Ketua DPC Hanura Maluku Tengah, Saliman Opik. Ia menuding rekomendasi tunggal tersebut bukan ditandatangani Ketua Umum Oesman Sapta Odang (OSO), melainkan oleh Ketua OKK.

“Faktanya, kami dibohongi. Ketua Umum sejatinya menyetujui empat nama. Tapi yang muncul di Musda hanya satu. Ini manipulasi. Karena itu, kami menolak dan akan menempuh jalur hukum ke Dewan Kehormatan dan Mahkamah Partai,” tegas Saliman.

Ketegangan Musda semakin memanas setelah salah satu kandidat, Erick Angkie, Ketua DPC Hanura Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), menyatakan siap meninggalkan partai bila proses dianggap tidak demokratis.

“Saya hormat pada DPP. Tapi kalau aspirasi ini mentok, saya pribadi lebih baik keluar dan bergabung dengan Gerindra. Setelah lebih dari 10 tahun membangun Hanura, saya capek kalau dinamika hanya melahirkan konflik tanpa produktivitas,” ungkap Erick.

Meski tetap menghormati Abas Orno sebagai calon yang direkomendasikan pusat, Erick menilai langkah aklamasi sepihak justru melemahkan semangat kader di daerah.

Sembilan DPC yang menolak jalannya Musda berasal dari: KKT, Maluku Tengah, Maluku Tenggara, Seram Bagian Barat, Buru, Kepulauan Aru, Buru Selatan, Seram Bagian Timur, dan Kota Ambon. Mereka menegaskan bila aspirasi diabaikan, maka keabsahan Musda patut dipertanyakan.

“Kalau 9 DPC tidak hadir, sah atau tidak Musda ini? Kami serahkan kepada publik,” kata Hendrikus.

Konflik ini berpotensi memicu krisis internal di tubuh Hanura Maluku. Sebab, DPC merupakan ujung tombak partai yang bekerja langsung di tingkat bawah. Bila mereka menarik dukungan, maka legitimasi kepemimpinan DPD bisa goyah.

Meski demikian, para DPC menegaskan bahwa penolakan mereka bukan ditujukan kepada Ketua Umum OSO. Mereka masih percaya OSO sebagai figur demokratis yang akan mendengar keluhan “anak-anaknya” di daerah.

“Kami hanya menuntut keadilan. Kami yakin Ketua Umum akan bijak. Tapi kalau tidak, kami siap tempuh jalur hukum partai,” tegas Saliman Opik.

Konflik internal ini menandai betapa krusialnya peran DPC dalam keberlangsungan mesin partai di daerah. Musda Hanura Maluku kini berada di persimpangan: aklamasi instan atau kompromi demokratis.