Ambon, Indolensa — Provinsi Maluku kembali terperosok dalam jurang defisit neraca perdagangan pada paruh pertama 2025. Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku, total defisit perdagangan sepanjang Januari hingga Juni 2025 mencapai USD 146,61 juta, disebabkan oleh ketimpangan struktural yang mencolok di sektor minyak dan gas (migas).
Kepala BPS Maluku, Maritje Pattiwaellapia, dalam peluncuran Berita Resmi Statistik (BRS) Jumat (1/8/2025), mengungkapkan bahwa sektor nonmigas sebenarnya mencatat surplus USD 21,49 juta. Namun capaian tersebut tak mampu menahan derasnya tekanan dari sektor migas yang mencatat defisit tajam sebesar USD 168,09 juta.
“Untuk Juni, sektor nonmigas masih surplus USD 5,06 juta, tetapi migas kembali mencatat defisit tinggi yakni USD 24,45 juta,” terang Maritje.
Ketimpangan itu juga tercermin dalam volume perdagangan. Pada semester I 2025, Maluku mengalami defisit volume sebesar 246,61 ribu ton, yang terdiri dari surplus nonmigas sebesar 3,75 ribu ton, namun tergerus oleh defisit migas hingga 250,37 ribu ton.
Kondisi ini menunjukkan bahwa performa perdagangan Maluku belum mengalami perbaikan signifikan. Selama tahun 2024, total defisit tercatat USD 398,34 juta, dengan titik terendah terjadi pada Juli 2024 saat defisit mencapai USD 68,37 juta.
BPS menilai, tingginya angka impor—terutama barang sektor migas—masih menjadi tantangan utama. Sementara itu, ekspor migas Maluku masih belum mampu mengimbangi volume impornya, menyebabkan tekanan berkelanjutan terhadap neraca perdagangan daerah.
Sebagai perbandingan, sepanjang 2024, ekspor migas Maluku hanya mencapai USD 23,29 juta, sementara nilai impornya membengkak hingga USD 445,82 juta. Ketidakseimbangan ini mempertegas lemahnya diversifikasi ekspor dan ketergantungan tinggi terhadap barang jadi dan energi dari luar daerah.
Situasi tersebut menjadi alarm keras bagi perancang kebijakan ekonomi di Maluku. Ketergantungan pada komoditas primer seperti hasil laut dan sumber daya alam mentah belum cukup menopang daya saing perdagangan jangka panjang. Reformasi struktural, hilirisasi sumber daya, dan penguatan industri lokal menjadi kunci untuk membalik tren defisit yang terus berulang.
