Ambon, Indolensa – Tepat lima tahun lebih telah berlalu sejak tragedi kebakaran besar yang melanda empat kapal di Pelabuhan Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, pada 4 Oktober 2019. Namun, dampak dari peristiwa itu masih dirasakan kuat hingga hari ini oleh para pemilik kapal dan awak kapal nelayan.
Tiga dari empat kapal yang terbakar saat itu adalah kapal penangkap ikan: KM Putra Dobo, KM Ampry, dan KM Delta King, yang semuanya ludes dilalap api. Peristiwa nahas itu diduga bermula dari kebakaran di kapal KM Taman Pelita milik perusahaan pelayaran PT Sumber Rejeki, yang kemudian menjalar ke kapal-kapal lainnya yang tengah bersandar.
Meskipun peristiwa tersebut telah menimbulkan kerugian besar secara materiil maupun sosial, hingga kini, Direktur PT Sumber Rejeki, Kiat, belum juga menunjukkan itikad baik untuk bertanggung jawab atau menyelesaikan masalah secara kekeluargaan.
Salah satu korban dalam insiden tersebut adalah Hamidu Marua, SH, pemilik KM Delta King. Kepada wartawan, Sabtu (24/05/2025) di Ambon, Marua mengungkapkan bahwa kerugian yang ia alami diperkirakan mencapai Rp2 miliar. Namun, menurutnya, yang lebih menyakitkan adalah hilangnya mata pencaharian bagi sekitar 20 anak buah kapal (ABK) yang sebelumnya bekerja di kapalnya.
“Kami hanya minta keadilan. Ini bukan semata soal bisnis, tapi sudah menyangkut kemanusiaan,” ujar Marua. “Pak Kiat itu pengusaha besar, punya hotel dan perusahaan. Tapi sampai sekarang belum ada inisiatif untuk menyelesaikan persoalan ini. ABK kami sekarang menganggur dan tidak punya penghasilan. Kami bukan minta lebih, kami cuma minta tanggung jawab,” tegasnya.
Menurutnya, kelalaian dalam penanganan bahan bakar atau pengamanan kapal—baik disengaja maupun tidak—telah berdampak luas bagi kehidupan para nelayan.
Senada dengan Marua, Yohanis Hattu, ST, pemilik KM Ampry, juga menyampaikan kekecewaannya atas ketidakjelasan penyelesaian pascakebakaran tersebut. Ia menjelaskan bahwa api pertama kali terlihat sekitar pukul 19.00 WIT dari KM Taman Pelita. Dalam hitungan menit, api menyambar kapal-kapal lain yang tengah bersandar berdempetan di area pelabuhan.
“Sumber apinya sudah jelas dari kapal milik PT Sumber Rejeki. Tapi sampai hari ini, tidak ada komunikasi, tidak ada itikad baik. Kami sudah mencoba menghubungi secara kekeluargaan, tapi tidak ditanggapi,” kata Hattu.
Ia menambahkan, kebakaran tersebut bukan hanya memusnahkan aset, tapi juga menyebabkan penurunan signifikan pada hasil tangkapan ikan di kawasan Ambon dan sekitarnya. Bahkan, hal ini turut memengaruhi naiknya harga ikan di pasaran karena ketersediaan yang menurun.
“Kalau sekarang harga ikan mahal, masyarakat jangan salahkan nelayan. Bagaimana kami bisa ke laut kalau kapal habis terbakar dan tidak ada yang bertanggung jawab?” ujarnya.
Kerugian yang dialami Hattu bahkan ditaksir lebih besar, yakni mencapai Rp2,6 miliar, termasuk peralatan kapal, mesin, dan muatan yang ikut terbakar.
Para pemilik kapal berharap agar pemerintah daerah, khususnya Dinas Perikanan Provinsi Maluku, dapat turun tangan memfasilitasi pertemuan antara para pihak yang bersengketa. Selain itu, mereka juga meminta dukungan dari instansi terkait agar penyelesaian bisa dilakukan secara adil tanpa perlu melalui jalur hukum.
“Kami masih berharap masalah ini bisa diselesaikan secara damai. Tapi kalau terus didiamkan begini, kami tidak punya pilihan selain menempuh jalur hukum,” ungkap Hattu.
Menurutnya, penyelesaian melalui mediasi akan jauh lebih bijaksana dan bermartabat dibandingkan harus berlarut-larut di meja pengadilan.
Sementara itu, saat wartawan mencoba mengonfirmasi Kiat, Direktur PT Sumber Rejeki, hingga berita ini ditayangkan belum ada tanggapan ataupun respons dari yang bersangkutan.