Saat Pemilu Jadi Gemoy

Oleh Zulfata Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)

Di tengah turbulensi politik 2024 semakin meningkat, perampingan struktur dan kerja masing-masing tim pemenangan nasional pasangan capres dan cawapres terus terkonsolidasi. Tanpa dipungkiri, ada keunikan tersendiri saat pemilu, khususnya pilpres yang dilaksanakan di masa transisi Presiden Joko Widodo. Keunikan sekaligus kecanggihan politik Jokowi di antaranya adalah “kemampuannya” dalam merajut koalisi besar dalam memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.

Tentu sebagai langkah politik bahwa apa yang dilakukan Jokowi (cawe-cawe demi bangsa) tidak diterima oleh semua kalangan, terutama kaum yang mengambil langkah sebagai oposisi terhadap arah politik koalisi besar yang terus memperjuangkan kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Sementara itu, barisan oposisi tampak tidak sepakat dengan melanjutkan IKN.

Bacaan Lainnya

Adalah sebuah kewajaran politik saat terjadi perbedaan orientasi dan sikap-sikap politik. Kemudian perbedaan tersebut berubah mejadi spirit pertentangan dengan berbagai bentuk, apakah cibiran, konflik massa hingga publik mengalami pembelahan sementara pra-pilpres 2024.

Barangkali beturan politik elite dan politik publik dalam pilpres 2024 tidak separah pilpres 2019. Kondisi sedemikian bukan saja sikap politik kolaboratif Prabowo Subianto yang dinamis terhadap arah politik Jokowi, tetapi juga dipengaruhi oleh iklim berdemokrasi dan tren politik elite yang lebih mengedepankan kemaslahatan kekuasaan dari pada apa yang dimaksud dengan kemaslahatan kerakyatan.

Sebagai sintomnya, intervensi kekuasaa masif di berbagai lembaga negara, termasuk semakin kacaunya arah politik lembaga yang disebut anti rasuah di republik ini (KPK). Apa yang disebut penguasa cenderung memenangkan pertandingan mungkin sudah menjadi jati dirinya Indonesia, adanya ketimpangan penyelenggara pemilu bukan saja telah menjadi kebiasaan kecurigaan publik saat pemilu tiba, tetapi juga dapat dicermati melalui gejala dan cara kerjanya secara menyeluruh, baik itu dari poses politik sleksi hingga penempatan posisi jabatan strategis.

Sederhananya, benang merah tulisan ini sejatinya hendak menyampaikan bahwa mekanisme kerja politik nasional di negeri ini tampak semakin keruh. Laju kekuasaan terlalu kencang hingga dapat menabrak-menggilas apapun yang berusaha menghalanginya.

Konsekuensinya adalah pada waktunya akan tiba penyesuaian diri dengan keinginan para penguasa. Kejelian dan kecerdasan publik dalam memahami gelagat partai politik hari ini tidak lagi membuat rakyat antusias dalam apa yang disebut dengan gerakan perubahan atau politik penolakan program Jokowi jangka panjang. Sebab yang mendengungkan perubahan tersebut juga bagian dari penyumbag ketimpagan pembangunan dengan maraknya kasus tersangka korupsi.

Mungkin kedewasaan publik hari ini secara tidak langsung menjadikan partisipasi publik menjadi lentur sekaligus mengedepankan sikap memaklumi. Memaklumi dominan elite yang tebar-tebar janji meski kemudian tak mampu memberi bukti. Memaklumi menggerakkan perlawanan terhadap pemerintahan meskipun pada akhirnya akan menjadi bagian dari pemerintahan. Melalui kedewasaan politik publik sedemikianlah akan membuka jalan bagi publik untuk tidak ingin terlalu bersitegang dalam pemilu 2024.

Ibarat pepatah, “Gajah berkelahi di hulu, semut mati kelaparan di hilir”. Publik tidak ingin lagi terperosok ke dalam apa yang disebut resiko politik pasca-pilpres. Publik tak ingin lagi terkena getah politik. Dengan kondisi sedemikian merupakan suatu langkah strategis bagi publik untuk menjalani atau menyikapi pemilu 2024 secara gemoy, gemes, penuh ketenangan, mengdepakan politik adaptif. Sebab kekuasaan memiliki aturan mainnya sendiri.

Ke-gemoya-an pemilu secara tidak langsung bermakna pemilu jangan sibuk bertengkar dan mempertajam perbedaan, tetapi bersikap tenang, santai tapi pasti, dan terima realitas politik dengan sikap bijaksana. Tanpa menerapkan pemilu gemoy ini dikhawatir akan ada poros politik tertentu yang mengambil manfaat di atas ketidkaruan publik dalam berpartisipasi politiknya untuk menghadirkan pemimpin nasional di 2024.

Terlepas dari kontroversi tulisan ini, terlihat strategi politik Prabowo-Gibran sedang membangun spirit pemilu gemoy tersebut. Mungkin dengan besar atau dominannya poros kekuasaan yang melekat pada Prabowo-Gibran telah menyakini bahwa pendulum kekuasaan 2024 telah berada pada posisinya. Sehingga rakyat sebagai pemilih tidak mesti lagi dibenturkan secara politik konflik-saling serang. Untuk itu, mungkin ada benarnya bahwa dengan filosofi pemilu gemoy ini sebuah pengantar solusi bagi rakyat agar tidak terperosok ke dalam jebakan politik penuh janji-janji manis.

Gemoy yang dimaksud dalam tulisan ini juga secara tidak langsung bermuatan edukasi publik terkait membangun negeri tidak relevan lagi jika mengedepankan perlawanan, namun “gemes-lucu” memahami negeri ini adalah suatu keniscayaan betapa komplitnya ketimpangan yang mengendap di tubuh republik. Akhirnya, saat pemilu 2024 jadi gemoy, paling tidak telah memberi solusi alteratif bagi rakyat untuk tidak seperti ikan lele yang terperosok ke air keruh saat musim panen tiba dan menguntungkan tuannya.

banner banner

Pos terkait