Saat Akal Sehat untuk Dimatikan

Oleh Zulfata, Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)

Seiring kemajuan dan meningkatnya gelombang infomasi dunia hari ini, terdapat kecenderungan perilaku manusia secara sistemik bahkan secara budaya tidak berbanding lurus dengan kemanfaatannya. Artinya, semakin terbuka informasi, semakin tak peduli untuk mencari kebenaran informasi. Semakin mudah menemukan informasi, semakin mudah pula manusia terjerumus pada manipulasi bahkan pembodohan secara akut.

Uniknya, gejala sosial seperti ini terjadi di negeri yang mengaku dengan gagahnya sebagai negeri yang demokratis. Gerak sistemik yang mengarah pada pelapukan sosial bahkan kebijaksanaan yang semakin babak belur dalam menjalankan agenda berbangsa dan bernegara. Dominasi kekuasaan semakin membabi-buta, perselingkuhan dan kompromi bisnis dan kekuasaan sudah menjadi budaya politik yang tidak hanya dipraktikkan oleh penguasa, tetapi turut menetes ke bawah hingga akar rumput. Kesenjangan sosial dipastikan akan terus bertumbuh dan berkembang biak. Cita-cita kebudayaan tampa semakin sirna. Namun demikian, harapan akan terus dinyalakan meski sering berangkat dari tatapan yang hampa.

Bacaan Lainnya

Tantangan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara semakin kompleks dan semakin menantang. Bahkan tantangan tersebut dapat berubah menjadi ancaman bagi keberlangsungan umat manusia dalam menuju pencapaian dan kemakmurannya secara kolektif atas bangsa Indonesia. Gejala maling teriak maling tak bisa dihindari. Praktik manipulatif atas nama keadilan semakin marak terjadi. Memprioritaskan keinginan elite atas nama aspirasi publik sudah menjadi pembicaraan yang basi di kalangan rakyat jelata namun masih menjadi ciri-ciri persandiwaraan elite di negeri ini.

Seiring bertambahnya usia negara, satu sisi warga negara tampak semakin cerdas, tampak semakin kritis, tampak semakin solid, tampak semakin kolaboratif dan partisipatif. Namun pada proses kelanjutannya rakyat lagi-lagi terjerumus ke dalam kubangan yang disebut korban penyalahgunaan kekuasaan lintas hirarki dan sektoral.

Jalan penguatan dan pembenihan akal sehat tidak lagi menjadi tumpuan harapan perubahan, justru akal sehat sengaja untuk dimatikan dan dilumpuhkan. Ada banyak dalih untuk menuju ke arah itu, di antaranya adalah kondisi Indonesia hari ini tidak relevan dengan keberadaan manusia yang berakal sehat, sistem dan politik birokrasi serta perilaku sosial telah menolak mentah-mentah bagi para manusia yang berakal sehat.

Akal sehat seperti mengalami pengasingan, namun kemerdekaan publik terus digaungkan. Pendidikan dan narasi membangun martabat manusia dari sisi kebutuhan pangan hingga ekonomi terus diperjuangkan, sementara itu, akal sehat publik dan penguasa mesti dimatikan untuk kemudian agar tidak membahayakan arah komando politik lintas penguasa korporat.
Tambah uniknya, semangat untuk melumpuhkan atau mematikan akal sehat ini tidak hanya terjadi di sektor institusi politik, tetapi juga telah merambat ke berbagai institusi pendidikan hingga kebudayaan, bahkan intitusi keagamaan.

Korupsi hampir menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari saat menduduki jabatan. Dengan kata lain, jabatan adalah identik dengan korupsi. Proses perawatannya tentu melalui serangkaian proses sawer-menyawer, setor menyetor, rekom-merekopm, rawat-merawat, kader-mengkader, dari level pemerintahan pusat hingga daerah. Semua ini lagi-lagi tidak dianggap sebagai kutukan kemanusiaan, melainkan dianggap sebagai suatu kebiasaan baru di zaman penuh tuntutan kebaruan ini.

Lantas di mana fungsi akal sehat? Akal sehat secara kolektif tidak akan berfungsi. Jika terus dipaksakan barangkali ia akan menjadi sebuah kemunafikan kolektif yang seolah-olah menjalankan agenda perjuangan publik. Tentu ada kecuali dalam konteks ini, bagi manusia-manusia yang terus membangun harapan dengan landasan keyakinannya bahwa akal sehat dapat membebaskan manusia untuk menjadi sebenar-benarnya manusia. Namun demikian umur manusia yang seperti ini perjuangannya berpotensi hidup dalam pelapukan, tidak ramai yang melanjutkannya, dan pada akhirnya cenderung bersifat layu sebelum mekar, mati sebelum berkembang.

Tidak sulit menemukan apa yang dimaksud dari kajian di atas, perhatikan saja di sekeliling kita, baik dalam konteks korporasi, intitusi bahkan berkeluarga. Akal sehat yang sejatinya untuk menjadi senter penerang menunjung arah, justru pada realitasnya mesti dimatikan dan berpegang pada satu tali komando dalam gelap, hingga bangsa dan negara berjalan jauh dari cita-cita.

Akal sehat adalah teori ilusi. Jadi, wajar saja berbagai problem sosial-kemanusiaan tidak lebih banyak progres berbaikannya dari pada menciptakan masalah baru yang terus tumbuh subur. Semua itu dapat dianggap wajar, sebab tidak ada kemaslahatan publik saat akal sehat untuk dimatikan.

Pos terkait