Kebrengsekan Perguruan Tinggi di Aceh Tenggara

Oleh Eko Widiyanto Mahasiswa Univesitas Gunung Leuser Aceh

Mencermati gelagat banyaknya perguruan tinggi di Aceh Tenggara akhir-akhir ini sungguh menggelitik bagi penulis. Sebagai mahasiswa yang masih aktif dalam mengamati beberapa perguruan tinggi yang ada di Aceh Tenggara masih banyak kurang memahami apa itu merdeka belajar yang sesungguhnya. Tidak adanya kebebasan dalam berfikir, dan cendrung penuh dengan paksaan. Belum lagi sistem Perguruan Tinggi di Aceh Tenggara yang begitu otoriter. Sehingga membuat progres dari perguruan tinggi tersebut menjadi monoton dan kaku. Apabila sistem ini menjadi budaya maka mau tidak mau Perguruan Tinggi tersebut akan mengalami kemunduran, karena saling menekan satu sama lain secara vertikal.

Belum lagi sistem Perguruan Tinggi di Aceh Tenggara yang anti kritik dan takut untuk dikritisi, sehingga banyak Perguruan Tinggi yang membekukan organisasi yang ada di dalam kampus tersebut karena takut apabila mahasiswa terlalu aktif di bidang organisasi penaran-penalaran mahasiswa untuk mengkritisi semakin meningkat dan perguruan tinggi takut kebusukannya terbongkar.

Bacaan Lainnya

Bercerita tentang perguruan tinggi yang mana didalamnya terdapat tiga (3) komponen penting menurut saya. Komponen ini yang nantinya akan menentukan maju mundurnya suatu perguruan tinggi disuatu daerah. Komponen ini saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat di pisah-pisahkan. Apabila satu komponen saja yang bermasalah maka berjalannya suatu perguruan tinggi tersebut akan pinjang seperti pesawat terbang yang kehilangan salah satu sayapnya.

Tiga (3) komponen penting itu adalah sistem, dosen, dan mahasiswa atau biasanya saya menyebutnya dengan “SDM paket komplit”. Komponen inilah yang menjadi pilar utama dari suatu Perguruan Tinggi untuk menentukan nasibnya, jika semua komponen bagus maka majulah kampus tersebut apabila komponennya banyak masalah maka terjadilah pergesakan dan akan mengalami kemunduran.

Perguruan tinggi diibaratkan sebuah negara kecil yang seharusnya dikelola secara demokrasi dan trasnparan, bukan malah sebaliknya. Namun saat ini banyaknya perguruan tinggi di Aceh Tenggara memiliki sistem yang cendrung mencedrai standar kode etik perguruan tinggi. Sehingga banyaknya aktivitas-aktifitas yang menyeleweng dari kode etik perguruan tinggi dan cendrung dimanfaatkan oleh oknum nakal yang mengambil keuntungan dari kegiatan tersebut.

Contoh permasalahan yang sering terjadi akibat sistemnya bobrok salah satunya yaitu banyaknya mahasiswa yang beranggapan dan berkata “enggak kuliah pun wisudanya, jadi ngapain kuliah, yang penting ikut ujian sama bayar UKT aja udah aman”, Nah dari kasus ini bisa kita simpulkan bahwasannya kegiatan itu sudah pernah dan mungkin sering terjadi sehingga dia termotivasi untuk melakukannya akibat adanya dorongan maupun ajakan dari oknum pemangku sistem dan dia berkaca dari kegiatan itu untuk dilakukan dengan cara yang sama. Ini adalah salah satu permainan yang ada di sistem untuk memuluskan kegiatan tersebut. Kemudian orang-orang yang ada di sistem tersebut kabanyakan saling mengedepankan kepentingan pribadi dengan ego yang tinggi, sementara perguruan tinggi di ibaratkan sebuah negara, jika tidak saling bekerja sama dan sama-sama berkerja maka tujuan suatu negara tidak akan tercapai.

Akibat dari kasus diatas berdampak besar terhadap mahasiswa yang aktif di kampus, semangat belajar para mahasiswa akan berkurang, karena para mahasiswa merasakan suatu keanehan ketika ada mahasiswa yang tidak tertib menjalankan aktivitas perkuliahan, tetapi nilanya sama dengan mahasiswa yang produktif saat perkuliahan. Secara otomatis presepsi mahasiswa terhadap civitas di kampus tidak sehat, dengan tidak menyebutnya memburuk.

Hanya ramai ketika ujian saja. Inilah salah satu ketidakadilan yang terjadi di Perguruan Tinggi di Aceh Tenggara yang telah menjadi budaya sehingga fenomena ini menjadi hal yang lumrah.
Begitu juga dengan fenomena dosen yang hanya menyandang gelar saja sebagai dosen, namun tanggung jawabnya tidak dijalankan sebagai mana mestinya. Kebanyakan dosen saat ini hanya menganggap mengajar itu adalah sebuah pekerjaan, dan mengharapkan balasan yang sesuai. Namun jika dosen itu menganggap mengajar itu adalah sebuah pengabdian untuk mencerdaskan anak bangsa maka dosen tersebut akan lebih profesional dalam mengajar.

Jadi, sudah saatnya untuk perguruan tinggi yang ada di Aceh Tenggara untuk mampu berkaca, memperbaiki, memperbaharui demi berkwalitasnya pendidikan tinggi di Aceh Tenggara baik itu dari sisi mahasiswa, dosen, maupun kebijakan kampus yang responsip dengan tentangan global yang kekinian.

banner banner

Pos terkait