Seram Bagian Barat, Indolensa – Kasus korupsi di Maluku, khususnya di Seram Bagian Barat (SBB), tengah menjadi sorotan bukan hanya karena jumlahnya, tetapi karena fenomena ironis: pejabat yang didakwa korupsi seringkali dinilai tidak menikmati hasil kejahatan tersebut. Aktivis mendesak publik untuk melihat masalah ini dari akarnya.
Verry V. Jacob/Suitela, S.Sos., Sekretaris Hena Hetu Kabupaten SBB, dengan lantang menyuarakan pandangan kritisnya.
”Korupsi = Pencuri = Perampok = Begal. Itu yang menghantam kepala kita. Namun, benarkah kita sudah melihat masalah ini dari akarnya? Atau kita hanya terjebak dalam drama menangkap tikus sambil membiarkan lumbungnya lapuk dan penuh lubang?” cetusnya tajam kepada media.
Menurut Jacob, fakta yang terungkap di Setda Kab. SBB hanyalah puncak dari gunung es bernama Sistem Pemerintahan yang Amburadul. Sistem ini dinilai bukan hanya melahirkan koruptor, tetapi lebih kejam lagi, seringkali menjadikan pejabat yang bersih sebagai tumbal dan kambing hitam.
Jacob membedah tiga dilema finansial yang disebutnya “Biaya Siluman” praktik yang secara sistemik memaksa pejabat daerah melanggar aturan APBD meskipun untuk tujuan yang sulit dihindari.
Jacob mencontohkan situasi protokoler saat Gubernur atau Bupati menerima tamu penting dari pusat yang membawa rombongan tak terduga (keluarga, asisten). Pejabat daerah dituntut menjadi tuan rumah sempurna.
”Anggarannya dari mana? Tidak ada pos menghibur tamu dan keluarganya dalam APBD,” tegas Jacob. Dana ini harus dicari melalui cara yang tidak transparan karena tuntutan protokol dan kehormatan daerah dianggap jauh lebih kuat daripada kepatuhan terhadap aturan keuangan.
Pejabat seringkali dihadapkan pada pilihan sulit terkait permintaan sumbangan dari Organisasi Massa (Ormas) atau kegiatan keagamaan/adat yang bersifat massal. Menolak berisiko memicu ancaman demo, pengrusakan, dan gangguan stabilitas sosial.
”Pejabat terjepit: mematuhi aturan anggaran berarti menciptakan konflik sosial, mengiyakan berarti melanggar hukum.” Jalan damai yang sering ditempuh adalah mengeluarkan dana, yang sumbernya harus diakali dan dipertanggungjawabkan di luar prosedur resmi.
Jacob juga menyoroti kasus-kasus di tingkat desa pegunungan Pulau Seram (seperti Rumberu, Rambatu, Manusa, hingga Honitetu) di mana kondisi jalan sangat buruk ia menyebutnya “jalan NERAKA.” Biaya transportasi ojek sekali jalan mencapai Rp250.000–Rp300.000, atau biaya perbaikan motor pribadi yang dilakukan hampir setiap minggu.
Analisis Kritis: “Apabila dana ini dimasukan kedalam anggaran desa, apakah akan diterima oleh akal sehat oleh tim auditor keuangan? Apakah ada kwitansi untuk dana tukang ojek?” Pertanyaan ini menyoroti diskoneksi antara realitas kebutuhan lapangan yang mendesak dengan kekakuan birokrasi dan persyaratan audit.
Praktik paling mematikan dalam birokrasi, menurut Jacob, adalah Perintah Lisan. Pejabat berkuasa (Kepala Desa, Bupati, dll.) yang membutuhkan dana untuk kepentingan pribadi atau politik tidak akan pernah meninggalkan jejak formal. Mereka memanggil bawahan (PPK/Bendahara) dan memberi perintah lisan: “Siapkan dana sekian, untuk keperluan mendesak.”
Bawahan terpojok. Menolak berarti mengakhiri karier, menuruti berarti melanggar aturan karena tidak ada bukti sah.
”Ketika audit BPK datang, yang muncul ke permukaan adalah nama si bawahan. Dialah yang memegang dana, dialah yang tandatangan… Sementara sang pejabat pemberi perintah, dengan mudahnya bersembunyi… dan berkata, ‘Saya tidak tahu, itu inisiatif bawahannya,’” jelas Jacob.
Inilah yang dia sebut Korupsi Terpaksa atau Korupsi Sistemik. Pejabat yang hanya menjalankan perintah untuk menyelamatkan situasi akhirnya didakwa korupsi, sementara aktor intelektualnya bebas berkeliaran.
Jacob mendesak agar kasus korupsi Rp16 miliar di Setda Maluku yang diperiksa BPK dijadikan pintu masuk untuk membongkar seluruh sistem yang sakit.
”Memberantas korupsi di Maluku, khususnya SBB, tidak bisa lagi hanya dengan menghukum para tikus, tetapi harus memperbaiki lumbungnya… Jangan biarkan lagi pejabat yang hanya menjalankan tradisi korup menjadi tumbal,” pungkasnya.
Seruan Jacob lugas: “Saatnya kita berani berkata Perbaiki Sistemnya, Baru Adili Orangnya.” Hanya dengan perbaikan sistemik, ia yakin Maluku dapat benar-benar bersih dari korupsi yang telah menggerogoti kesejahteraan rakyatnya.
