Ambon, Indolensa – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan menjadi simfoni gizi bagi anak bangsa, sempat terusik oleh insiden di SMA Negeri 5 Ambon. Penemuan ulat pada menu makanan seorang siswa memantik perhatian publik, menjadi pengingat betapa pentingnya ketepatan pengelolaan pangan, dari hulu hingga hilir.
Kepala Sekolah SMA Negeri 5 Ambon, Pelfina J. Saija, S.Pd., M.Si., tidak menampik kejadian tersebut. Dalam wawancara, ia menjelaskan bahwa ulat yang ditemukan diduga berasal dari beras yang sudah lama tersimpan sehingga menggumpal. Menurutnya, hal itu merupakan kecelakaan yang tidak disengaja, namun menyingkap persoalan kualitas bahan baku yang perlu diperhatikan serius.
“Penemuan ulat itu mungkin berasal dari beras yang sudah lama. Ketika dimasak, gumpalan pada beras dapat memunculkan ulat. Jadi memang benar ada pada salah satu menu makan siswa, tetapi ini murni tidak disengaja,” ungkap Pelfina.
Insiden tersebut, meskipun diklaim sebagai kasus tunggal, langsung ditindaklanjuti pihak sekolah. Kepala sekolah memastikan telah memberikan instruksi tegas kepada bagian dapur untuk memperketat pengawasan bahan pangan.
“Kami sudah sampaikan kepada pihak dapur agar lebih teliti. Setelah kejadian ini, proses penyajian makanan bergizi sudah berjalan baik,” tegasnya.
Meski demikian, persoalan ini tidak semata-mata tentang ulat pada beras. Kasus tersebut mencerminkan tantangan serius dalam implementasi Program MBG, terutama kerentanan kualitas pangan di lapangan.
Pelfina menambahkan, secara umum siswa tetap menyambut baik program ini. “Mereka menikmati karena lauknya sesuai kebutuhan mereka,” ujarnya. Hal ini menjadi bukti bahwa tujuan utama program telah tercapai, meskipun tetap harus dijaga konsistensi kualitasnya.
Kepala sekolah berharap insiden ini dapat menjadi cambuk bagi semua pihak terkait. “Harapannya, makanan bergizi bisa dikemas lebih baik lagi, dengan perhitungan matang pada bahan pokok maupun lauk,” ujarnya, menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap rantai pasok pangan.
Secara nasional, insiden di Ambon menambah daftar catatan terkait mutu program MBG. Di beberapa daerah, kasus serupa seperti penemuan ulat, belatung, hingga keracunan makanan juga pernah terjadi. Data dari Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan bahwa peringatan ini harus ditanggapi serius.
Membiarkan kualitas pangan menurun berarti mempertaruhkan kesehatan generasi penerus. Program yang lahir dari niat mulia harus dijalankan dengan standar mutu yang ketat dan disiplin tinggi. Sebab, di balik setiap piring makanan tersimpan harapan masa depan yang sehat. Kehadiran ulat dalam sebutir nasi menjadi metafora tajam: detail kecil tak boleh luput dalam sebuah program besar.
Pencegahan masalah gizi dan keracunan pangan menuntut kolaborasi yang bukan hanya responsif, melainkan proaktif. Paradigma harus bergeser dari sekadar mengatasi insiden menjadi menjaga kualitas secara berkesinambungan. Hanya dengan langkah cepat, tegas, dan konsisten, Program MBG dapat kembali pada cita-cita luhurnya: menghadirkan santapan bergizi yang aman, sehat, dan benar-benar membangun generasi masa depan.
