Beras Mahal di Ibu Kota, Ambon Justru Tunjukkan Ketenangan Pasar dan Bantah Logika “Plastik”

Ambon, Indolensa – Di tengah gejolak harga pangan yang membuat beras premium nasional melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), pasar di Maluku, khususnya Ambon, menunjukkan anomali yang menenangkan. Pelaku usaha di Ambon tidak hanya menjamin stabilitas harga lokal, tetapi juga secara tegas membantah isu “beras oplosan” yang sempat meresahkan publik dengan argumentasi logis berbasis ekonomi.

Salah satu distributor sekaligus pemimpin CV. Gema Rejeki, John Tuhuteru merespons cepat isu beras oplosan atau beras plastik. Ia menepis isu tersebut dengan argumen biaya produksi yang sederhana namun mengena.

​”Biji plastik itu sudah lebih mahal dari beras. Bagaimana mungkin bisa dibeli dengan harga murah? Harga pokoknya saja sudah lebih mahal. Itu tidak mungkin,” tegas Tuhuteru, menyingkirkan spekulasi yang tidak berdasar secara logika dagang.

​Ketenangan ini, menurut Tuhuteru, mencerminkan psikologi pasar yang berbeda. Ia menyoroti perbedaan signifikan antara Ambon dan daerah lain seperti Jawa yang cenderung panik (ribut luar biasa) saat isu serupa muncul.

​”Tapi di Ambon tetap stabil,” katanya, menekankan ketahanan masyarakat Maluku dalam menghadapi gejolak, bahkan saat isu minyak subsidi sempat dijual tinggi di luar HET.

​Tuhuteru menganalisis bahwa stabilitas Ambon tidak lepas dari fondasi ekonomi lokalnya. Ia membandingkan bahwa masyarakat Ambon masih mampu bertahan dan makan meskipun tidak bekerja dalam periode tertentu karena “masih berpenghasilan di kebun.” Ini kontras dengan kondisi di Jawa, di mana “orang tidak kerja 1 minggu saja tidak bisa makan.”

​Meskipun mengakui adanya persaingan ketat dan efisiensi anggaran yang berdampak pada penurunan harga barang pabrik (seperti minuman yang terlalu banyak tidak terjual), Tuhuteru memastikan bahwa sembako di Ambon masih oke.

​Menanggapi langkah pemerintah, Tuhuteru menyatakan dukungannya. Namun, ia menyertakan kritik penting mengenai dampak intervensi harga, khususnya operasi pasar.

​”Yang pemerintah lakukan sudah benar dan kami mendukung, tetapi mungkin ada berdampak pada masyarakat, terutama operasi pasar. Dampaknya ke pedagang secara prinsipal,” ujarnya, menggarisbawahi perlunya kebijakan yang sensitif terhadap nasib pelaku perdagangan di lapangan.

​Sementara Ambon menunjukkan ketenangan, data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) per Selasa (23/9/2025) memperlihatkan gejolak harga pangan yang nyata:

  • Beras Premium rata-rata nasional mencapai Rp15.924/kg, jauh melampaui HET Rp14.900/kg.
  • Mentan Andi Amran Sulaiman mengklarifikasi isu “oplosan” sebagai pelanggaran mutu oleh 10 merek produsen, di mana mereka menjual beras dengan tingkat patahan (broken rice) yang sangat tinggi (40%–50%), namun dengan harga premium.
  • Komoditas lain, seperti Minyakita (Rp17.496/liter) dan Bawang Putih di Jakarta (Rp50.000/kg), juga berada di level harga yang tinggi.

​Kisah dari CV. Gema Rejeki, Ambon ini menjadi pelajaran berharga: ketahanan pangan tidak hanya diukur dari data harga rata-rata, tetapi juga dari fondasi ekonomi lokal dan kemampuan pasar menepis isu liar dengan logika sederhana dan ketenangan kolektif. Ambon terbukti mampu menjaga stabilisasi pasokan dan harga di tengah riuh rendah isu pangan nasional.