“Sopi di Balik Disko”: Ironi Kultural dan Ketimpangan Kebijakan Alkohol di Maluku

Maluku, Indolensa — Di tengah kemilau lampu diskotik dan etalase minuman beralkohol impor yang bebas dijual di pusat-pusat hiburan dan ritel modern, sopi minuman tradisional hasil fermentasi lokal terus dicap sebagai simbol keterbelakangan. Padahal, sopi bukan sekadar minuman, melainkan warisan budaya dan sumber ekonomi masyarakat Maluku yang telah bertahan lintas generasi.

Fenomena ini menuai kritik tajam dari Jovandri Aditya Kalaimena, Fungsionaris DPD KNPI Maluku. Ia menyoroti ketimpangan persepsi dan kebijakan pemerintah yang terkesan diskriminatif terhadap produk lokal, seraya membiarkan minuman impor tinggi alkohol beredar bebas dan dilegalkan.

“Lucunya, minuman keras di toko-toko besar dan diskotik-diskotik megah justru dianggap bermartabat, berkelas, bahkan legal. Tapi sopi  yang lahir dari kearifan lokal, hasil tangan petani sendiri, dan bagian dari napas budaya masyarakat Maluku malah dicap buruk. Di mana letak keadilannya?” tegas Jovandri dalam wawancara eksklusif.

Lebih dari sekadar kritik, Jovandri mengingatkan bahwa sopi adalah representasi dari nilai budaya, identitas sosial, sekaligus ekonomi keluarga petani yang selama ini menggantungkan hidup dari produksi tradisional tersebut. Larangan dan stigma yang dilekatkan pada sopi, menurutnya, justru memperlemah posisi rakyat kecil di tengah dominasi produk asing yang difasilitasi secara hukum dan ekonomi.

“Sopi bukan sekadar cairan fermentasi. Ia adalah tetesan darah petani, sumber pendapatan keluarga, dan identitas kolektif kita sebagai orang Maluku. Pemerintah seharusnya hadir bukan untuk menertibkan dengan stigma, tapi melegalkan dengan kebijakan yang adil dan berpihak,” tambahnya.

Jovandri menilai bahwa legalisasi sopi dengan sistem pengawasan dan regulasi yang ketat bisa menjadi solusi rasional dan berkeadilan. Selain menjamin aspek keamanan konsumsi, langkah tersebut juga membuka peluang pemasukan resmi bagi daerah, sekaligus mengangkat derajat produk budaya lokal yang selama ini dikubur dalam persepsi negatif.

Sindiran halus namun menggugah ia lontarkan sebagai penutup reflektif:

“Jika yang asing bisa dimuliakan di atas meja pesta, mengapa yang lokal harus disembunyikan di balik pintu belakang?”

Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan ajakan untuk menata ulang paradigma kebijakan yang lebih berpihak pada keadilan budaya dan ekonomi rakyat. Dalam dunia yang terus bergerak ke arah modernitas, sudah saatnya pemerintah hadir untuk memuliakan yang lokal bukan sekadar meniru yang global.