Rumawey, Indolensa — Di atas tanah adat seluas lebih dari 300 hektar yang kini hanya menyisakan bekas-bekas luka ekologis dan sosial, masyarakat Negeri Rumawey menyimpan satu suara yang sama: mereka telah dikhianati. PT Nusa Ina Grup perusahaan yang menggarap kawasan tersebut dituding melakukan wanprestasi usai gagal memenuhi kompensasi lebih dari satu miliar rupiah yang telah disepakati sebelumnya.
Yang terjadi bukan hanya penggundulan hutan adat. Yang runtuh bukan hanya pohon-pohon tua tapi juga harkat, martabat, dan hak-hak sah masyarakat Rumawey sebagai pemilik tanah ulayat.
“Kalau hutan bisa tumbuh kembali, bagaimana dengan kepercayaan kami yang dicederai? Ini bukan sekadar soal uang. Ini soal hak yang diinjak-injak,” ujar seorang tetua adat Rumawey kepada Indolensa, dengan mata yang menyimpan bara amarah.
Dugaan Wanprestasi: PT Nusa Ina Dianggap Ingkar Janji
Husein Marasabessy, S.H. Direktur Lembaga Kajian dan Peduli Hukum Indonesia (LKPHI) DPD Maluku yang kini juga berpraktik sebagai advokat di Jakarta menyebut bahwa tindakan PT Nusa Ina Grup telah memenuhi unsur wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
“Dengan lewatnya waktu tanpa pemenuhan kewajiban yang telah disepakati, debitur dianggap lalai demi hukum. Ini bukan lagi dugaan, ini pelanggaran nyata,” tegas Husein.
Ia menambahkan, pasal 1243 KUHPerdata membuka ruang gugatan ganti rugi hingga pembatalan kontrak, dan dalam kasus tertentu, dapat berujung pada laporan pidana apabila ditemukan unsur penipuan atau itikad buruk.
Ultimatum Hukum dan Politik: LKPHI Siap Bawa Kasus ke Jakarta
Dalam pernyataan resminya, LKPHI Maluku memberi waktu dua hari kepada PT Nusa Ina Grup untuk menyelesaikan kewajibannya. Bila tidak, maka akan diambil tiga langkah tegas:
- Laporan resmi ke Mabes Polri untuk memproses dugaan wanprestasi dan pelanggaran hukum lainnya;
- Aksi demonstrasi besar di Jakarta untuk membawa suara masyarakat adat Rumawey ke ranah nasional;
- Desakan politik kepada DPP PDI Perjuangan untuk memanggil Direktur Utama PT Nusa Ina Grup, Sihar Sitorus, yang diketahui merupakan kader aktif partai tersebut.
“Kalau partai bicara keberpihakan pada wong cilik, inilah saatnya membuktikan. Jangan biarkan kader partai menjadi pelaku penindasan atas hak masyarakat adat,” sindir Husein dengan nada tajam.
Antara Eksploitasi dan Eksistensi
Lebih dari sekadar kasus bisnis atau konflik adat, yang tengah diperjuangkan oleh masyarakat Rumawey adalah eksistensi mereka sebagai pemilik sah tanah dan budaya.
“Negeri kami tidak minta dikasihani. Kami menuntut keadilan. Dan keadilan yang ditunda adalah ketidakadilan yang disengaja,” tegas seorang tokoh pemuda Rumawey.
Jika tidak ada respons dari negara, bukan tidak mungkin perlawanan ini akan menjalar ke pusat. Bagi masyarakat Rumawey, memperjuangkan tanah adat bukanlah pilihan politik ini adalah panggilan leluhur.
“Kalau tidak bisa diselesaikan di sini, kami akan berdiri di depan Istana. Kami akan bawa nama Rumawey ke jantung ibu kota,” tutup Husein.
Catatan Hukum:
- Pasal 1238 KUHPerdata: Debitur dianggap lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis telah dinyatakan lalai, atau bila dengan lewatnya waktu yang ditentukan ia dianggap lalai demi hukum.
- Pasal 1243 KUHPerdata: Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, baru mulai diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai untuk memenuhi perikatannya, tetap lalai memenuhinya.
