Seram Bagian Barat, Indolensa — Konflik agraria dan investasi di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) kembali memanas setelah terjadinya aksi pembakaran alat berat milik PT. Sumber Irian Makmur (SIM) di wilayah Petuanan Negeri Kawa. Kejadian ini dinilai sebagai kejahatan terstruktur yang mencerminkan lemahnya penanganan pemerintah daerah atas konflik yang telah lama berlarut.
Kordinator Pemerhati Investasi Maluku, Yanto Lemosol, menilai bahwa pembiaran oleh Bupati SBB terhadap konflik yang terus terjadi tanpa solusi nyata telah memicu kegaduhan dan tindakan melawan hukum.
“Ini bukan hanya bentuk sabotase, tapi kejahatan serius yang bisa menghambat investasi dan masa depan ekonomi daerah,” ujarnya.
Ia menilai absennya sikap tegas dari kepala daerah, yang justru berada di luar daerah saat eskalasi konflik meningkat, sebagai cerminan buruk kepemimpinan.
“Bupati justru tinggalkan daerah dalam kondisi genting. Bagaimana mungkin kita berharap pada pemimpin yang tidak hadir saat masyarakat membutuhkan arah dan keputusan?” katanya.
Lemosol mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polres SBB dan Polda Maluku, untuk segera mengusut dan menangkap pelaku pembakaran.
“Proses hukum harus berjalan tanpa kompromi. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di Maluku,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga stabilitas dan kepastian hukum demi menarik investor ke SBB.
“Kalau iklim investasi dirusak oleh konflik yang dibiarkan, dampaknya bukan hanya pada PAD dan pembangunan, tapi juga menyangkut hilangnya lapangan kerja dan meningkatnya pengangguran,” pungkasnya.
Menurutnya, kepemimpinan Bupati saat ini patut dievaluasi secara menyeluruh.
“Lima tahun berjalan, tetapi tidak ada dampak signifikan terhadap kemajuan daerah. Kita butuh kepala daerah yang hadir, tanggap, dan bisa memimpin dalam situasi sulit.”
Aksi pembakaran yang terjadi menambah daftar panjang ketegangan antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak investor. Sementara itu, masyarakat berharap konflik agraria ini bisa ditangani secara adil tanpa mengorbankan hak ulayat maupun menghambat pembangunan daerah.
