Saling Tuding di Balik Surat DPRD dan Bupati: Sengkarut Konflik Lahan PT SIM Memanas

Seram Bagian Barat, Indolensa – Suasana politik dan sosial di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) kembali memanas pasca dikeluarkannya surat rekomendasi oleh DPRD SBB Nomor: 100-1-4.4/134 tertanggal 17 Juli 2025. Surat tersebut memuat empat poin utama yang menyarankan penangguhan aktivitas penggusuran dan land clearing di atas lahan bermasalah milik PT. Spice Island Maluku (SIM), sekaligus mendukung kesepakatan lintas pihak yang ditandatangani pada 3 Juli 2025.

Namun alih-alih meredakan ketegangan, surat rekomendasi itu justru memantik gelombang kritik. Ketua Gerakan SBB Bersih, Jacobis Heatubun alias Bobby, mengecam langkah DPRD yang dinilainya tidak profesional dan tidak berpihak pada kepentingan seluruh masyarakat.

“Surat DPRD ini justru memperlihatkan kekacauan dalam sistem pemerintahan daerah. Seharusnya DPRD bertindak sebagai pengawas kebijakan, bukan sekadar stempel atas keputusan eksekutif,” ujar Bobby saat diwawancarai awak media, Senin (20/7) di Waisarisa.

Menurut Bobby, DPRD SBB kehilangan fungsi kontrolnya karena surat rekomendasi tersebut muncul setelah surat penangguhan aktivitas PT SIM yang lebih dulu diterbitkan oleh Bupati. Hal ini, lanjutnya, menimbulkan kesan bahwa DPRD hanya “mengikuti irama” Bupati dan satu kelompok masyarakat, yakni dari Dusun Pelita Jaya.

“Ini seperti DPRD sudah jadi jongos Bupati. Di mana sikap netral mereka? Kenapa masyarakat dari Desa Hatusua, Nuruwe, dan Lohiatala seolah tak mendapat tempat dalam pertimbangan kebijakan ini?” tanya Bobby dengan nada geram.

Bobby juga menyoroti dampak ekonomi dari konflik agraria yang belum kunjung selesai. Sejak kisruh lahan mencuat, PT SIM merumahkan 424 pekerja sejak 2024. Jika dirata-rata dengan gaji Rp3 juta per bulan per orang, maka lebih dari Rp1 miliar potensi perputaran uang di masyarakat telah hilang.

“Ini bukan sekadar konflik antar warga. Ini soal perut ratusan keluarga. Penundaan dan tarik-ulur tanpa solusi akan terus mengorbankan rakyat,” tegas Bobby.

Ia pun mengingatkan bahwa situasi di lapangan semakin rentan. Surat bupati dan rekomendasi DPRD, bila tidak diiringi langkah penyelesaian konkret, berpotensi memperbesar konflik sosial dan ekonomi.

“Ibarat telur di ujung tanduk, situasi ini bisa meledak sewaktu-waktu jika tidak disikapi secara arif dan adil,” tutupnya.

Konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan bukan hanya soal hak atas tanah, tapi menyangkut keadilan sosial, arah pembangunan, dan legitimasi kebijakan pemerintah daerah. Perlu ada forum mediasi terbuka, transparan, dan berpihak pada hukum, agar kegaduhan tidak berubah menjadi gejolak yang lebih besar.