Ambon, Indolensa – Kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan anggaran mengguncang SMP Negeri 10 Ambon. Kepala sekolah, Wineke Tuhumury, S.Pd, diduga mentransfer sejumlah uang kepada pihak yang mengaku sebagai “Ketua Tim Jaksa” guna menghentikan penyelidikan terhadap dugaan penyimpangan di sekolahnya. Ironisnya, dalam proses itu, nama pejabat Pemkot Ambon turut dicatut.
Nama Alex Hursepuny, Staf Ahli Wali Kota Ambon Bidang Pemerintahan, disebut-sebut dalam komunikasi yang diterima Tuhumury sebagai pejabat yang ikut terkait. Namun, saat dikonfirmasi Sabtu (24/5/2025), Hursepuny menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki hubungan apa pun dengan kepala sekolah, apalagi terlibat dalam praktik pemerasan.
“Beta kaget sekali. Beta tidak kenal kepala sekolah itu, dan Beta tidak punya urusan apa-apa dengannya. Ini jelas pencemaran nama baik,” tegas Hursepuny via telepon.
Kepada wartawan, Tuhumury mengaku menerima pesan dari seseorang yang mencatut nama Hursepuny, mengarahkannya untuk menghubungi pria bernama Jumadi Saimima, yang disebut sebagai Ketua Tim Jaksa. Atas permintaan Jumadi, ia mengaku mentransfer Rp3 juta, kemudian kembali diminta Rp2 juta sebagai syarat diterbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan konferensi pers pembersihan nama baik.
“Saya panik karena berita sudah menyebar luas. Saya hanya mengikuti arahan yang diberikan,” ujar Tuhumury.
Sayangnya, langkah itu justru dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Bahkan wartawan yang pertama kali mengangkat kasus ini justru menjadi korban fitnah.
“Ini fitnah kejam. Kami hanya menjalankan tugas jurnalistik, tapi dikorbankan untuk menutupi aroma busuk yang sebenarnya,” kata seorang jurnalis yang enggan disebutkan namanya.
Sumber internal sekolah mengungkap bahwa Dana BOS yang seharusnya menopang kegiatan operasional sekolah telah habis sebelum semester berakhir. Akibatnya, gaji 20 guru honorer macet hingga enam bulan terakhir. Di sisi lain, pihak sekolah juga diduga melakukan pungutan liar berkedok kebutuhan pendidikan, di antaranya: Penjualan buku paket seharga Rp175.000 per buah, Biaya ujian praktik Rp200.000 per siswa, dan Pungutan perpisahan dan ijazah tanpa rincian jelas.
Tuhumury membantah tudingan tersebut dan menyebut seluruh pungutan berdasarkan kesepakatan komite sekolah.
“Itu semua hasil kesepakatan. Dana digunakan untuk kegiatan perpisahan dan ijazah. Soal gaji petugas, memang sudah saya naikkan,” klaimnya.
Namun, investigasi lanjutan menemukan adanya praktik rangkap jabatan. Salah satu staf sekolah disebut merangkap sebagai penjaga malam dan cleaning service, tetapi hanya menerima gaji Rp500.000, jauh dari nominal Rp1.500.000 yang diakui kepala sekolah.
Terkait kabar bahwa suami kepala sekolah turut mengelola dana sekolah, Tuhumury membantah keras.
“Itu tidak benar. Suami saya tidak terlibat. Itu murni fitnah,” tegasnya.
Meski demikian, dugaan publik terhadap adanya keterlibatan pihak luar semakin menguat. Sejumlah aktivis pendidikan di Ambon mendesak agar Kejaksaan turun tangan untuk menyelidiki dugaan korupsi, pungli, dan pemerasan terorganisir.
“Jika benar kepala sekolah mentransfer uang untuk menghentikan penyelidikan, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, tapi indikasi kejahatan sistematis,” ujar salah satu aktivis.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Ambon saat dikonfirmasi menyatakan pihaknya akan menurunkan tim investigasi ke SMPN 10 Ambon mulai Senin (26/5/2025). Ia juga memastikan bahwa nama Alex Hursepuny yang disebut dalam pesan tersebut hanyalah dicatut, dan tidak berkaitan dengan kasus ini.
