Mafia Tanah Menggila di Labuan Bajo, Santosa Kadiman Pemilik htl St. Regist Diduga Mendzolimi 7 Warga Pemilik Tanah 3.1 Ha

 

 

Manggarai Barat – Ada 7 (tujuh) lagi korban tumpang tindih tanah anak-anak Niko Naput dan Santosa Kadiman (Hotel St. Regis Labuan Bajo ) yang mengklaim bagian dari 40 ha. Mereka yang sudah di- PPJB-kan tanah tersebut awal tahun 2014.

 

Padahal 7 orang ini sudah memiliki tanah total 3,1 hektare ini sejak 1992, yang didapat langsung dari Fungsionaris adat Nggorang, Ishaka dan Haku Mustafa

 

Hal ini disampaikan, Pengacara Irjen Polisi (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si, Ketua Tim dari 11 pengacara 7 orang tersebut dalam rilisnya, Rabu (23/4/2025) di Labuhan Bajo, Manggarai Barat.

 

“Tujuh (7) orang pemilik tanah di Kerangan ini mendatangi kami agar memperoleh kembali keadilan. Untuk itu kami membantu, baik secara pidana maupun perdata, dengan total luas tanah 7 orang ini 3,1 hektare,” kata Sukawinaya.

 

Menurutnya, mereka sudah memproses pensertifikatan tanah di Kantor BPN Labuan Bajo. Namun, tidak dilanjutkan prosesnya, karena terdapat kendala dari pihak lain. Dimana pihak Niko Naput (NN) mengklaim tanah itu miliknya dan Ramang Ishaka (red-putra Ishaka) yang mengaku punya wewenang sebagai fungsionaris adat, menyerahkan tanah tersebut kepada NN.

 

‘Ini mengherankan, bagi mereka, karena tanah yang sudah dibagi ayahnya, Eh malah anaknya yang membagi lagi kepada orang lain,” terang Sukawinaya.

 

Lebih mengherankan ke-7 klien kami lagi adalah ketika tiba-tiba 2021 dibangun basecamp, untuk membangun Hotel St Regis di atas tanah mereka di Kerangan Labuan Bajo ini. Sekaligus disana juga ada semacam penambangan batu dan pasir, lengkap dengan mesin pengolahnya.

 

“Padahal mereka (red- pihak Niko Naput, Santosa Kadiman) tahu bahwa tanah tersebut milik ke-7 klien kami ini. Ingat, tahun 2012 terjadi mediasi dan sidang Panitia A di kantor BPN. Akan tetapi mereka sengaja menduduki tanah tersebut sejak 2021,”  jelas Sukawinaya.

 

Ketika ditanya kenapa ke-7 orang tersebut diam saja dan dan tidak melawan di lokasi?

 

“Pak, 7 orang tersebut adalah petani miskin dan lemah. Mereka jadi takut. Apalagi ketika dilakukan groundbreaking pembangunan Hotel di atas tanah tersebut. Bahkan penguasa nomor satu NTT Gubernur Viktor melakukan gunting pita. Tentunya 7 orang petani lemah dan miskin ini merintih tak berdaya,” lanjutnya.

 

Meski begitu, kebenaran yang ada pada mereka tidak sirna, dan kali ini ke-7 orang ini berani untuk mempertahankannya. Dimana melakukan LP (Laporan Pidana) maupun gugatan perdata dengan didampingi Tim Pengacara.

 

Zoelkarnain Djuje, salah satu dari 7 orang pemilik tanah di 3,1 ha tersebut menginfokan bahwa,  tanah kami ini terletak di satu hamparan, ada 7 (tujuh) kapling, dengan masing-masing memiliki surat alas hak dari Fungsionaris Adat 1992.

 

Tujuh (tujuh) pemilik tersebut : 1. H. Adam Djuje 75x130m = 9.750 m2, 2. Zoelkarnain 75×120 = 9.000m2, 3. Mustaram 27×130 = 3.290 m2, 4. Abdul Haji 130×20 = 2.600m2, 5. Usman Umar 130×27 = 3.510m2, 6. Lambertus Paji 75×20 = 1.500m2, 7. Muhamad Hatta Usman 75×20 = 1.500m2.

 

“Total luas 31.100 m2, yang kini terlihat dipakai seenaknya oleh anak Niko Naput dan Santosa Kadiman untuk basecamp dan pengolahan batu. Kami sadar hukum, oleh karena itu kami menempuh jalur hukum untuk penyelesaiannya,” tutup Zoelkarnain.

 

Sementara itu Indra Triantoro, S.H., MH., anggota tim pengacara 7 orang korban ini mengatakan, mereka memiliki surat alas hak asli dari Fungsionaris adat, dan surat itu sudah diserahkan kepada BPN sebagai warkah asli pada 2012.

 

Namun, saat pengurusan sertifikat tanah, makanya waktu itu diselenggarakan tahapan proses sidang Panitia A. Di surat undangan itu jelas sekali tercantum siapa-siapa yang diundang, dan salah satunya adalah H. Ramang Ishaka.

 

Perbuatan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, selain diduga adanya perbuatan melawan hukum perdata, juga diduga terjadi tindak pidana;

 

Pertama, diduga kuat Hj Ramang dan Syair mengeluarkan surat pengukuhan atau keterangan lisan yang mengukuhkan perolehan hak kedua ponakan Niko Naput saat sidang Panitia di BPN, padahal tanah tersebut tumpang tindih di atas tanah 3 hektar milik 7 orang ini.

 

Kedua, H. Ramang Ishaka dan Muhamad Syair sesungguhnya tidak berhak oleh adanya surat kedaulatan masyarakat adat Nggorang 1 Maret 2013. Perbuatan mana ini menyebabkan beralihnya tanah hak milik 7 orang ini kepada pihak lain tanpa alasan hukum.

 

Ketiga, diduga kuat surat alas hak tidak aslinya. Salah satu alasan untuk ini adalah surat alas hak 10 Maret 1990 Niko Naput yang dipakai pada perkara no.1/2024 tidak ada aslinya, tanah tetangga 11 ha alm.Ibrahim Hanta terbukti tidak ada aslinya. Jelasnya, untuk surat alas hak Niko Naput di atas tanah 3,1 hektare ini juga patut diduga kuat tak ada aslinya.

 

Pelaku pembuat surat yang tidak ada aslinya itu diduga H. Ramang Ishaka, Muhamad Syair, Niko Naput, Santoso Kadiman, PT Mahanaim Group (Ika Yunita).

 

Keempat, pelaksana pembuat Gambar Ukur diatas tanah 3,1 ha itu adalah oknum karyawan BPN di Labuan Bajo. Tahun 2012 BPN mengakui tanah 3,1 ha milik 7 orang itu, terbukti menerima surat alas hak asli lalu dibuatkan sidang Panitia A. Tetapi pada 2017, BPN membuat Gambar Ukur diatas tanah 3,1 ha itu atas nama diduga ponakan Niko Naput, yaitu Rosyina Yulti Mantuh dan Albertus Alviano Ganti.

 

“Perbuatan ini diduga kuat merupakan persengkokolan jahat penipuan & perampasan hak yang dilakukan oknum BPN, Niko Naput, Santosa Kadiman (pembeli 40 ha tanpa alas hak itu) dkk, Hj Ramang & Muh.Syair yang diduga menipu sebagai Fungsionaris Adat yang memberikan surat pengukuhannya. Hal ini jelas-jelas 7 orang ini menjadi korban”, tutup Indra.

 

Selanjutnya, Md Tanti, SH, dalah satu anggota tim lainnya mengatakan, para 7 keluarga besar korban perampasan tanah 3.1 hektar di Kerangan, Labuan Bajo ini siap memperjuangkan keadilan dan kebenaran sampai titik darah penghabisan.

 

Ke-7 warga korban kejahatan perampasan tanah ini menegaskan, oknum-oknum penjahat mafia tanah ini adalah orang-orang yang juga merampas tanah-tanah lain di wilayah Kerangan Labuan Bajo.

 

“Hal ini sudah dibuktikan adanya Pelanggaran Hukum perampasan tanah dan surat-surat dodong-nya. Hal ini terbukti pada putusan perkara perdata 11 ha ahli waris alm.Ibrahim Hanta di PN Labuan Bajo, PT Kupang, dan hasil temuan Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Dan kuat dugaan, bahwa sesungguhnya penguasaan tanah 3,1 ha juga tanpa surat alas hak asli,” tutup Tanti. (red)