Potret Kelam Konservasi: Tahura Bontobahari Disinyalir belum Memiliki Batas Batas Resmi

Indolensa.com_ Bulukumba, Sulawesi Selatan — Di antara angin laut yang berhembus lembut dan gemerisik daun pohon langka, Taman Hutan Raya (Tahura) Bontobahari menyimpan cerita yang memudar dari pesona hijaunya.

Bukannya menjadi benteng konservasi alam, kawasan hutan seluas sekitar 3.475 hektar ini justru terancam oleh konflik agraria yang kian memanas.

Bacaan Lainnya

Fakta baru terungkap setelah Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (PILHI) melakukan investigasi mendalam. Direktur Eksekutif PILHI, Syamsir Anchi, dengan nada serius mengungkapkan bahwa Tahura yang terletak di Desa Ara tersebut belum memiliki batas-batas resmi.

“Belum ada penetapan batas di kawasan Tahura Bontobahari. Ini membuatnya rentan diserobot atau diklaim pihak tertentu,” ujarnya dalam pertemuan dengan media pada Ahad (2/2) di Bulukumba.

Peninggalan Alam yang Terlupakan

Ditunjuk sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor 721/Menhut-II/2004, Tahura Bontobahari seharusnya menjadi benteng bagi flora dan fauna endemik Sulawesi.

Di dalamnya, masih hidup rusa timor, kera macaca, serta pohon langka seperti Bitti, Jabon, dan Nato. Namun, tanpa batas yang jelas, keindahan alam ini berada di bawah ancaman aktivitas manusia yang ilegal.

PILHI menemukan indikasi adanya penambangan liar, penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM), dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) di kawasan hutan ini. “Bagaimana mungkin ada SHM dan SPPT di hutan yang jelas-jelas dilindungi?” tanya Anchi dengan nada getir.

Seruan Mendesak untuk Penetapan Batas

PILHI mendesak Pemerintah Kabupaten Bulukumba agar segera memetakan, menetapkan, dan mengukuhkan batas Tahura Bontobahari. “Patok atau papan tanda perlu dipasang untuk mencegah konflik dan klaim ilegal,” tegas Anchi.

Tak hanya itu, PILHI juga meminta aparat menghentikan segala aktivitas ilegal di dalam Tahura. “Penambangan, jual beli kavling, dan penerbitan sertifikat harus dihentikan. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi ancaman nyata bagi lingkungan dan masa depan konservasi.”

Membatalkan Sertifikat yang Cacat Hukum

Untuk menegakkan keadilan, PILHI mengusulkan pembatalan SHM dan SPPT yang telah terbit di kawasan Tahura. Menurut Anchi, proses ini bisa dilakukan langsung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanpa perlu gugatan ke PTUN. “SHM di kawasan konservasi jelas cacat prosedural dan harus dibatalkan,” tandasnya.

Harapan yang Tersisa

Di balik berbagai persoalan ini, masyarakat masih berharap Tahura Bontobahari dapat diselamatkan dari kehancuran. Dengan kerja sama pemerintah, legislatif, dinas terkait, serta warga setempat, PILHI yakin kawasan konservasi ini bisa kembali menjadi simbol keindahan alam Bulukumba.

Jika tidak segera ditindaklanjuti, warisan alam ini berisiko hilang, menyisakan kenangan pahit dari sebuah taman raya yang seharusnya menjadi kebanggaan, bukan medan konflik tak bertepi. (red)*

 

Pos terkait