Spirit muda yang terpancarkan dari debat cawpres 2024 mekelat kuat pada sosok Gibran Rakabuming Raka. Dengan gagasan dan program kerja yang disampaikannya bersifat holistik dan terukur, serta juga didukung dengan perangkat kerja politik yang dipandang lengkap saat melihat poros politik di pihak Gibran.
Kekentalan semangat muda itu semakin jelas terlihat ketika pelibatan generasi muda dari semua program strategis nasional selalu disinggung, terutama soal meningkatkan sumber daya manusia digital. Selain dari sisi usia yang berbeda dengan Cak Imin dan Mahfud MD, kefokusan menggarap produktifitas nasional berbasis anak muda barangkali hanya ada pada diri Gibran. Jika dicermati dari sisi komunikasi politik pada debat cawapres, Gibran tampak dengan gagahnya untuk meraih apa yang disebut sebagai peluang generasi emas (bonus demografi) yang akan dipetik oleh Indonesia.
Kepemimpinan nasional berbasis pikiran visioner anak muda tampak terus mengalami progresifitasnya jika Gibran tembus menjadi wakil presiden mendampingi presiden Prabowo Subianto. Dalam konteks ini pula, nalar politik liar seperti peluang keberlanjutan program kerja nasional Prabowo-Gibran tampak mengarah pada Gibran menuju paggung presiden Indonesia di masa depan.
Mungkin apa yang terjadi pada debat cawapres 2024 tersebut memang benar apa kata Anies Baswedan pada beberapa kesempatan yang menerangkan bahwa anak muda itu bicara masa depan, sementara para senior memiliki pengalaman. Korelasinya pada debat tersebut tampak memang Cak Imin sebagai ketua umum partai politik dan Mahfud MD sebagai mantan menteri dan pakar hukum yang prestisus tampak tidak mengarah kuat pada kekuatan politik anak muda sebail “goal” penggerak kekuatan nasional. Padahal, sugguh naif republik ini dengan jumlah anak mudah produktif jika tidak mendapat akses kekuasaan atau pelibatan kolaboratif secara serius dalam menjadikan Indonesia lebih maju di masa depan.
Kompleksitas perjuangan politik anak muda yang kini sedang bersarang pada sosok Gibran justru semakin kuat saat Gibran dipimpin oleh Prabowo Subianto yang karir politiknya cukup mentereng dalam pentas sejarah politik Indonesia. Keterpaduan politik Prabowo-Gibran bukan saja terasa lengkap jika dilihat dari kolaborasi generasi yang pernah hidup di orde lama dengan yang melek teknologi dan paham selera anak muda masa kini, tetapi juga kekuatan politik tambahan setelah kolaborasi politik Prabowo-Jokowi-SBY-parpol-parpol besar juga menjadi motor penggerak Gibran dalam mewujudkan apa yang disebut sebagai bonus demografi di Indonesia.
Masih dalam konteks debat cawapres, berbagai pemicu gagasan terkait ekonomi digital (cyber security, hilirisasi digital, ekosistem UMKM, generasi skill, kolaborasi investasi dan seterusnya) merupakan sektor strategis bagi generasi muda sebagai aktor terdepan.
Tidak hanya itu, kemampuan bergagasan Gibran juga tidak tampak kalah dengan para pendahulu politik yang kini menjadi rivalnya (Cak Imin dan Mahfud MD) dalam menguraikan soal infratruktur dan investasi.
Meski semua cawapres yang berada di pangunggung gagasan tersebut tidak mengarah pada pemaknaan yang sempit terkait invesrtasi, namun pada penalaran politik Gibran justru lebih terdepan karena kemampuannya dalam memparalelkan setiap program startegis nasional dengan peran generasi muda serta problem sosial dan lingkungan.
Kecapakan Gibran dalam membedah persoalan bangsa secara global (mulai dari korelasi perang dagang, eknomi hijau, hilirisasi energy dan seterusnya) kemudian merangkul kekuatan politik muda sebagai motor penggerak menjadikan Gibran menang telak dalam debat cawapres 2024. Namun demikian, pada posisi ini pula, setelah mencermati debat cawapres 2024, barangkali publik memiliki catatan pinggir tersendiri terkait arah gagasan dan program politik Gibran ke depanya.
Oleh karena itu, dunia hari ini, khususnya rakyat Indonesia mungkin mesti berpikir ulang terkait mengganggap Gibran sebagai “anak ingusan” yang dipilih sebagai cawapres mendapingi Prabowo, buktinya, dalam debat cawapres kita semua dapat menyaksikan secara jernih terkait bagaimana cakupan gagasan dari semua cawapres saat hendak membawa Indonesia lima tahun ke depan. Akhirnya, memang terlalu dini bahkan tidak sepadan untuk menilai nasib Indonesia dari debat, paling tidak dengan debat ini publik telah dapat menangkap arah yang ingin dituju Indonesia hari ini. Untuk itu, menarik menggali makna cuitan Gibran setelah debat cawapres; “let him cook”.
Sungguh Gibran merupakan wali kota Surakarta (Solo) sekaligus pendatang baru dalam kancah politik misterius di republik ini.