Mencermati komunikasi politik Megawati Soekarputri semakin menarik akhir-akhir ini. Terlebih saat trah politik presiden Jokowi hengkang dari partai yang identik dengan banteng berlatar merah dan moncong putih tersebut. Munculnya pernyataan terkait main curang berpotensi terulang lagi pada pilpres 2024 secara tidak langsung mengkonfirmasi bahwa benar adanya prkatik main curang di pilpres masa lalu.
Dalam konteks ini penulis tidak menyebut bahwa pasca pemilu perdana (1955) telah memaparkan bagaimana proses politik main curang tersebut tak terhindari, termasuk pula barangkali proses politik Megawati dan Amien Rais yang dianggap bekerjasama dalam melengserkan Gus Dur sebagai presiden RI masa itu.
Disadari atau tidak, proses politik Indonesia identik dengan main curang, hanya saja ada banyak cara memainkan dan memaknai kecurangan dalam politik. Sehingga kata curang cenderung absrak dibuktikan ke ruang publik, terlebih di hadapan hukum yang diproduksi oleh kepentingan penguasa dan kliennya. Sebagai klarifikasi penggiringnya, dalam bernegara, adakah pemerintah bermain curang dengan rakyatnya? Adakah wakil rakyat bermain curang dengan rakyatnya? Adakah rakyat bermain curang dengan calon wakil rakyat? Adakah penyelenggara bermain curang dengan rakyatnya, adakah pengesahan Undang-Undang dilakukan secara main curang? Adakah perebutan ketua umum partai politik bermain curang? Adakah penyelenggara pemilu dilakukan secara curang? Adalah proses pembentukan struktur lembaga penyelenggara pemilu ada kaitannya dengan kecuran politik di kalangan tertentu? Sungguh tidak ada pengadilan di negeri ini untuk mampu membongkar jaringan praktik kecurangan politik itu sendiri. Dari realitas politik kekinian Indonesia ini mesti kita akui bahwa panggung kekuasaan di Indonesia cenderung distorsi dan paradoks.
Alih-alih menyebut bahwa perebutan kuasa identik dengan manipulasi dan main curang. Sehingga ada argumentasi yang menyatakan bahwa menang dengan bermain curang lebih terhormat dari pada kalah secara terhormat. Pergulatan kekuasaan di Indonesia hari ini tidak mendapat tempat untuk tidak bermain curang. Siapapun orangnya, siapapun penyelenggaranya. Semuanya terseret ke dalam sistem yang memang dirawat untuk memposisikan yang menang melalui proses politik curang, baik secara laten maupun terang-terangan.
Bermain curang dalam konteks kajian ini tentunya tak tersaring fakta hukum negara, meskipun negara itu sendiri terus menelurkan produk-produk hukum yang melestarikan kecurangan (kecurangan yang dilindungi secara hukum). Barang siapa yang satu langkah di depan gesit bermain curang, maka poros politik itulah yang akan memenangkan permainan atau pertempuran politik.
Bagaimanakah praktik berpolitik secara curang tersebut mendekati keabadian? Jawabannya sangatlah kompleks, di antaranya melalui proses pengkaderan politik yang dijalani secara padat modal dan genetik politik tertentu. Gelinding untuk berpolitik bermain curang ini cenderung bersifat musiman, sama halnya seperti seni beroposisi, pada rezim tertentu menjadi oposisi dan pada rezim tertentu pula menjadi pendukung.
Tanpa mengurangi rasa hormat, melalui ragam sosok orang yang pernah menjadi nomor satu di republik ini jika dikorek semakin dalam kiprah politiknya, baik secara kiprah politik birokrasi maupun kiprah politik finansialnya, maka akan ditemukan bentuk sisi gelap kecurangan politiknya. Apakah kecurangan tersebut berdalih demi keselamatan negara maupun dalih mengatasnamakan kepentingan umum. Dalam kontek ini pula bermain curang selalu dijadikan seni berpolitik bagi makhluk politis. Bentuk kecurangan atau motif serta pelakunya terus menerus berkreasi mengikuti perkembangan zaman dan perilaku yang terbarukan yang dialami umat manusia.
Dapatkah kecurangan politik itu dihindari? Jawaban pintasnya mungkin tidak dapat dihindari ketika hendak menggapai kemenangan politik. Dalam sejarah perebutan kuasa politik di negeri ini, praktik kecurangan tersebut akan selalu ada, hanya saja, temuan-temuan kecurangan tersebut dapat disulap kembali melalui kekuasaan, sehingga kecurangan dapat menjadi dibenarkan.
Bagi pelaku politik bermain curang juga dianggap sebagai pahlawan bagi pengikutnya. Hal tersebut sangat tergantung atas manfaat apa yang diperoleh pengikutnya. Pada posisi ini, sikap bermain curang terkadang abu abu dengan sikap berjuang. Sama halnya dengan poros politik tertentu yang berteriak bahwa poros politik selain mereka telah atau akan bermain curang, padahal tanpa disadari bahwa poros politiknya juga sama-sama pernah bermain curang. Jadi, tidak ada jalan lain menyikapi politik curang di republik ini selain menikmatinya dengan seni hidup agar tidak menyasari dan memangsa kita yang bukan siapa-siapa pada jabatan strategis di republik ini.