Jokowi, Prabowo dan Kegusaran PDIP

Oleh Zulfata Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)

Barangkali tidak ada yang menyangka kekuatan Jokowi di akhir kepemimpinannya sebagai presiden RI dua periode kemudian pada akhirnya menciptakan kegusaran di tubuh partai yang tumbuh dengan matang dan penuh aral melintang. Sebut saja PDIP, sebuat partai yang sedemikian komplek sejarah perebutan kekuasaannya hingga jatuh ke tangan Megawati, namun pada akhirnya mengalami kegusaran dengan tidak menyebutnya keterbelahan akibat Jokowi effect.

Suatu kewajaran memang, strategi politik yang matang sulit dibaca oleh lawan, bahkan ia terus memicu sederet kejutan dalam setiap penentuan keputusan politik. Sehingga tidak jarang akan selalu ada barisan sakit hati, pembelot, penyebrang, bahkan masih ada yang terus ingin bermain api dengan PDIP dari dalam.

Bacaan Lainnya

Resminya Gibran (putranya Jokowi) sebagai calon wakil presidennya Prabowo Subianto pada pilpres 2024, tentu secara politik fakta ini adalah sebuah pukulan telak bagi PDIP. Bagaimana mungkin partai besar (partai penguasa) yang dikenal kental dengan politik genetik dan politik ideologisnya kemudian seakan tertampar dan berubah oleh adanya peran politik trah Jokowi yang pernah singgah tubuh di PDIP. Mungkin inilah yang disebut bahwa politik itu cenderung seperti parasit.

Dalam sejarah politik Indonesia memang ada kecenderungan bahwa setiap partai yang berkuasa pada waktu tertentu akan mengalami pembelahan atau akan memicu tumbuhnya partai-partai baru. Misalnya seperti sejarah lahirnya partai Gerindra dan Nasdem sebagai eks partai Golkar. Lebih mencolok dari fakta politik trah Jokowi ini adalah Jokowi tidak mengambil sikap menciptakan regenerasi politiknya melalui partai politiknya sendiri. Jauh berbeda dengan partai Demokrat yang masih kental dengan membentang karpet merahnya untuk AHY, demikian juga dengan PDIP yang masih berorientasi pada memposisikan Puan Maharani sebagai aktor kunci di masa depan dalam tubuh PDIP.

Sederhananya, dengan pendulum kekuasaan yang masih dikendalikan oleh Jokowi saat ini, besar kemungkinan PDIP akan mengalami remuk dalam setelah trah Jokowi dianggap telah bermain serong dengan fakta bahwa anak-anak Jokowi tidak satupun mendukung pasangan capres dan cawapres yang diusung PDIP.

Kekentalan politik kekuasan semakin pekat di Indonesia, tepatnya pekat kelam. Perencanaan politik lima tahunan selalu dilengkapi dengan sederet perencanaan alternatif. Kecanggihan politik Jokowi mengakibatkan berbagai elite penting dan partai-partai besar juga merapat ke Koalisi Indonesia Maju (KIM) versi Prabowo-Gibran. Kecanggihan politik Jokowi tersebut kemudian disambut dengan kelenturan politik Prabowo untuk sama-sama bergandengan tangan dengan Jokowi menuju pilpres 2024. Tidak hanya itu, di barisan KIM juga diperkuat dengan keberadaan dua presiden RI pada masanya, yaitu, Jokowi dan SBY. Atas situasi dan cara main berpolitik seperti hari ini tentu kemungkinan Prabowo-Gibran akan lebih berpeluang menang di pilpers 2024.

Politik tanpa etis meurupakan suatu yang tergilas oleh realitas politik itu sendiri, demikian juga dengan sikap politik dan benturan kepentingan apapun pada akhirnya akan mengerucut atasnama kekuasaan. Politik oposisi barangkali tidak akan lagi mengusik kekuasaan secara serius. Perjalanan politik Indonesia ke depan akan terus terbuka dipraktikkan seperti politik yang dimainkan oleh Jokowi hari ini.

Cara melihat politik Indonesia ke depan, dapat diwakili dengan politik pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai lenmark Indonesia di masa depan. Sebelum terbentuknya badan otorita atau undang-undang yang mengatur IKN tersebut, PDIP sebagai partai dominan di parlemen menjadi garda terdepan membela hasrat politik Jokowi, namun demikian Jokowi hari ini sudah menadi rahasia umum bahwa dirinya seperti tidak lagi sejalan dengan arah politik PDIP. Dalam konteks inilah Jokowi yang dianggap elite politik dari sipil yang mempunyai kemampuan kompleks dalam memanfaatkan PDIP sebagai batu loncatan trah politiknya.
Bagaimana PDIP tidak gusar? Bukan saja Jokowi yang dibesarkan oleh DPIP, tetapi putra dan menantunya juga turut dibesarkan oleh PDIP.

Namun, kini PDIP seperti tidak begitu menarik lagi bagi trah politik Jokowi, dan kemungkinan Gibran dan Puan akan tiba masanya nanti menuju ke pilpres selanjutnya, terkait apakah mereka akan bertanding atau berdamping? Mungkin PDIP dan pemerhati politik paham akan makna pertanyaan ini. Sebab dalam dunia politik, kepercayaan dan pengkhiatanan tidak memiliki batas yang jelas, mesti garis komandonya semakin jelas dan terbarukan.

banner banner

Pos terkait