Relasi harta, tahta dan wanita di Indonesia barangkali telah jarang diperbincangkan seiring menguatnya gerakan emansipasi perempuan. Seakan relasi yang dimaksud telah berubah menjadi harta, tahta dan setoran. Realitas ini bukan saja terjadi akibat lebih dari lima menteri di bawah komando politik birokrasi Presiden Joko Widodo yang tersandung kasus korupsi, tetapi juga berpengaruh pada berbagai lintas hirarki politik di tanah air, baik dari pemerintahan desa hingga pemerintahan pusat.
Perhatikan saja misalnya praktik kebrutalan politik setoran yang menyerang “pos-pos” birokrasi di tanah air. Setoran seakan telah menjadi pengetuk pintu masuk, pembuka kunci hingga bentuk jaminan dan komitmen dalam menduduki jabatan amanah publik. Dalam konteks ini pula tidak keliru rasanya ketika dominasi kasus korupsi yang menjerat menteri tidak lepas dari hal setoran dan aliran dana dari mana ke mana. Yang di bawah setor ke atas, yang di atas setoran ke atas lagi, demikian siklus seterusnya yang semakin berurat nadi dalam memperkuat posisi jabatan strategis di dunia pemerintahan.
Jangankan untuk membasmi pungutan liar (pungli), para pejabat tertentu berpura-pura tidak bermain pungutan liar. Seola-olah hanya preman jalanan saja yang mempraktikan pungutan liar. Seakan-akan hanya begal saja yang merampok kenyamanan publik. Melampaui dari itu, lebih kejam dari drakula yang menghisap darah manusia adalah pejabat yang melanggengkan jabatan dan menumpuk kekayaannya dengan politik setoran. Sehingga jabatannya berlangsung aman dan terkendali tanpa ada gangguan yang berarti.
Harta, tahta dan setoran kini bukan lagi tiga hal yang terpisah, melainkan tiga suatu kesatuan yang utuh. Bagi yang tidak memiliki tahta cenderung ia tidak akan mendapatkan jabatan strategis. Demikian halnya ketika tidak ada harta, maka tidak akan dapat melakukan politik setoran. Seterusnya, jika tidak mendapat jabatan, dipastikan tidak akan dapat menumpuk harta.
Penyakit sosial politik sedemikian tidak berlebihan menyebutnya sebagai praktik yang telah mendarah daging di berbagai lembaga/instansi. Uniknya, segala praktik yang dimaksud dianggap sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang dimaklumi, dianggap sebagai kelaziman baru seiring perkembangan zaman. Kesadaran publik untuk dapat mencerahkan atau membebaskan diri dari lingkaran setan yang dirangkai dari siklus harta, tahta dan setoran tidak lebih kuat dari lingkaran setan itu sendiri.
Justru sebaliknya yang terjadi, lingkaran setan tersebut secara bertahap membentuk kesadaran publik yang memaklumi praktik setoran di berbagai “pos-pos” kekuasaan di negeri ini.
Dalam bahasa kirinya, tidak ada makan siang yang gratis. Demikian pula dalam hal perolehan jabatan. Uji kelayakan dan kepatutan terkesan dijadikan sebagai tahapan formalitas.
Kemampuan, pengalaman dan kecakapan seorang calon pejabat akan tersingkirkan oleh kekuatan setoran. Jadi, siapa yang tertib melakukan setoran, maka tertib pula garis kepercayaan atasan terhadap bawahan. Sehingga, setoran juga dianggap sebagai simbol tertib, simbol loyalitas, simbol pengabdian, simbol terima kasih, hingga simbol kebaikan dalam bermitra.
Dalam praktik lanjutan dari politik setoran ini, jabatan atau kekuasaan bukan lagi untuk mewujudkan kemaslahatan publik atau kemakmuran rakyat. Tetapi, sebagai wadah untuk menunjang atau melipatgandakan harta untuk kemudian dipasangkan kembali taruhannya untuk dapat meraih jabatan di tingkat selanjutnya. Peta jalan meniti karir seperti ini bukan lagi jadi rahasia umum, melainkan sudah menjadi alur jitu meraih jabatan strategis.
Para pemain setoran cenderung telah paham apa yang dimaksud dengan jabatan basah dan jabatan kering. Tinggi rendahnya setoran tergantung dengan kategori jabatannya. Semakin basah jabatannya, maka semakin tebal pula setorannya. Khazannah setoran sejatinya sangat luas, baik dari sisi metode setor hingga tujuan alokasi setoran. Sehingga pada titik tertentu, aliran setor-menyetor yang dimaksud ada kaitannya dengan politik konglomerat atau partai politik. Dalam konteks ini pula sejatinya politik setoran tidak dapat dimaknai secara sederhana dan sempit. Ia seperti hantu, antara ada dan tiada, namun ia selalu hidup di tengah aktivitas sosial kita.