Hari ini mungkin kita terlalu banyak basa-basi atau berpura-pura dalam bernegara. Harapan dan perubahan dijadikan modus dalam membajak kedaulatan rakyat secara kolektif. Pendulum kekuasaan tidak benar-benar diarahkan kepada kemaslahatan rakyat secara menyeluruh, tidak juga mengacu pada UUD 1945, melainkan semuanya mengikuti kehendak para mafia yang sukses mengendalikan kekuasaan negara.
Tanda menyebut jongos-jongos mafia tersebut, namun pola main mereka dapat ditelusuri dari berebagai sektor, baik dalam hal perencanaan atau mendesain aturan negara, tatakelola sumber daya alam, hingga sektor-sektor hulu strategis lainnya semuanya dikendalikan oleh mafia. Dalam bahasa yang sederhana bagi kalangan rakyat jelata ada yang menyebutnya sebagai mafia minyak goreng, mafia tambang, mafia hukum, mafia beras, mafia energi, mafia obat-obatan, mafia pendidikan, mafia agama dan seterusnya yang tidak mungkin disebut satu persatu, sanking banyaknya keberadaan mafia di republik ini.
Lantas mengapa jejaring dan pasukan komando mafia tersebut terkesan dibiarkan, sementara negara memiliki perangkat atau alat yang lengkap, mulai dari sektor legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun demikian perangkat negara yang dimaksud tersebut diakui atau tidak telah terperosok jauh dalam genggaman para mafia.
Mafia terus bertambah bukan saja dari sebelum negeri ini terbentuk, tetapi jumlah mereka semakin berlipat ganda seiring teriakan di balik agenda reformasi. Mafia seakan memiliki kontrol lebih melampaui UUD 1945. Perumpamaan kekuatan mafia tersebut, mereka hanya menekan tombol tertentu, maka apa pun yang dinginkannya akan tercapai. Mereka ingin memenangkan calon presiden dan wakil presiden tertentu pun bisa.
Dalam perhelatan kekuasaan, sejatinya yang berjuang untuk perubahan itu bukanlah rakyat, melainkan para mafia itu sendiri. Antar mafia saling berjuang mendapatkan kendali kekuasaan. Uniknya, dalam perjuangan antar mafia tidak ada yang namanya kalah atau menang, melainkan adalah terpaut dalam apa yang disebut sebagai bisnis kekuasaan win win solution. Pada perjalanannya, mafialah yang berbisnis, mafialah yang berpolitik, mafialah yang mengatur aturan main, dan akhirnya demokrasi berubah makna menjadi dari mafia oleh mafia dan untuk mafia.
Secara struktur dan cara main, mafia bukan saja diidentikkan dengan seseorang, tetapi juga gerbong atau poros di berbagai bidang. Misalnya ada mafia yang menangani perkara hukum, pemilu, sumber daya alam, stabilitas harga dan ketahanan pangan, bahkan ikut menentukan postur budaya masa depan. Alih-alih mafia dijadikan musuh bersama oleh calon-calon pemimpin bangsa di masa depan, justru tampaknya calon-calon pemimpin bangsa tersebut lebih awal berlutut dan menyembah mafia.
Diakui atau tidak, mencermati cara main mafia kekinian, tampaknya ada problem besar yang sengaja tidak ingin dibongkar oleh pemangku elite di negeri ini. Para pemangku kebijakan dan pelaksana amanah rakyat yang bukan saja menjadi bidaknya para mafia, juga mereka lebih memilih jalan untuk berselancar dan berakrobat di hadapan rakyat jelata. Sehingga keberadaan pemangku kebijakan publik tersebut disulap sedemikian rupa seolah-olah menjadi sosok yang selalu memperjuangkan rakyat Indonesia dari masa ke masa.
Terkadang memang lucu dalam mencermati perkembangan kekuasaan di negeri ini dalam menuju perwujudan cita-cita proklamasi. Namun seiring itu pula, sangat menyedihkan melihat kondisi negara dan bangsa dari hari ke hari semakin remuk. Indonesia terus-terusan berkubang dalam politik persengkokolan kotor. Terus-terusan berpura-pura maju bersama. Sembonyan bernegara yang bergotong-royong berubah drastis menjadi rampok-merampok, tipu-menipu, sandiwara ke sandiwara. Negara yang memanusiakan manusia masih jauh panggang dari api.
Untuk menemukan fakta, cermati saja perhelatan pilpres dari masa ke masa. Konkretnya di pilpres 2024. Dapat dibayangkan bagaimana nasib negeri ini jika kendali politik negara hanya dapat dikendalikan oleh segelintir orang yang pelaku-pelakunya sejatinya bertolak belakang dengan prinsip berpancasila. Dengan pengendalian yang serba canggih dan kuat oleh para mafia, secara tidak langsung Pancasila seakan dianggap sebagai mitos. Parahnya Pancasila masih dijadikan tameng atau bumbu racikan dalam memasak sandiwara di ruang publik.
Barangkali keberadaan mafia akan selalu ada di lintasan zaman manapun, upaya untuk membatasi gerak mereka pun tidak mungkin. Kini para mafia terlalu kuat melampaui negara. Perangkat negara tak berdaya menghadapi mereka lantaran telah menjadi bagian gurita jaringannya para mafia itu sendiri. Memang pepatah pernah mengatakan banyak jalan menuju roma. Selalu ada harapan selama matahari masih bersinar. Namun jalan manakah yang akan ditempuh negeri ini menuju jalan keselamatannya selama jalan tersebut masih disutradarai oleh para mafia? Kerakyatan yang dipimpin oleh para mafia. Demikianlah fakta bernegara kita hari ini, selebihnya tidak lain adalah bernegara penuh dengan aktivitas tipu-tipu.