Seiring ambruknya demokrasi Indonesia, saat itu pula ketidakpercayaan publik semakin menipis. Budaya santun, saling bantu, gotong-royong, pengabdian secara cepat tergilas atas praktik pramatisme yang semakin menggila. Sistem sosial kering dengan kearifan, nilai-nilai moral hanya sekadar bumbu-bumbu pidato resmi. Kemudian, persatuan atas nama bangsa Indonesia perlahan-lahan mengerdil menjadi persatuan partisan. Komando proklasmasi bergeser menjadi komando tipu sana tipu sini. Etika dan moral yang sejatinya menjadi perekat kesatuan sosial dan kedamaian masyarat luntur dari pemilu ke pemilu.
Barangkali masyarkat Indonesia semakin mudah diperdaya dan ditipu melalui berbagai skema kerja lintas politik. Alih-alih menyelamatkan harkat dan martabat orang banyak, justru menciptakan bom waktu dalam menghadirkan perilaku sosial apa yang disebut homo homini lupus; manusia adalah predator bagi sesama manusia.
Aktivitas bersosial semakin menarik garis batas yang mencolok, acuh tak acuh atas penderitaan orang lain. Mulai dari kecurigaan yang berlebihan, pengkhianatan hingga pembodohan. Sehingga misi mencerdaskan kehidupan bangsa tidak benar-benar sedang dijalankan. Kecerdasan serta modal sosial lainnya justru dijadikan alat penindasan dan kekacauan sosial. Demikian halnya arah penegakan hukum justru semakin berpihak pada kekuasaan yang nirkemanusiaan. Pada akhirnya sistem sosial budaya di Indonesia terjerumus ke dalam politik praktis yang keji.
Har ini, Indonesia telah berada pada fase tidak ada lagi seutuhnya rakyat yang percaya pemimpinya, tidak ada lagi rakyat yang seutuhnya percaya atas perangkat negaranya.
Tidak ada lagi rakyat yang percaya kepada lembaga pendidikannya. Tidak ada lagi masyarakat yang gemar berbuat baik terhadap tetangganya. Pandangan rakyat terpaksa lebih memikirkan dirinya sendiri, lebih mengedepankan persaingan dari pada berdampingan. Lebih gemar memecah-belahkan dari pada menyatukan. Lebih percaya klaim politik dari pada keyakinan moral. Sungguh situasi dan kondisi sedemikian merupakan wujud bernegara yang amat naif.
Indonesia yang semakin jauh tenggelam ke dalam praktik negara kekuasaan secara tidak langsung telah melibas tembok-tembok kemaslahatan rakyat yang telah dibayar lebih oleh pendiri bangsa dengan taruhan nyawa, harta dan keluarga. Rasa kolektif tidak menghargai pengorbanan pahlawan bukan saja karena mengenang pahlaman dengan cara seremonial belaka, tetapi juga dengan menumbuhkan praktik yang tidak memanusiakan rakyat Indonesia, baik melalui cara berpolitik, produk kebijakan hingga kondisi sosial yang sengaja diciptakan untuk dapat beradaptasi dengan ekosistem kebinatangan. Hukum rimba tepatnya; Siapa yang “kejam” ia akan menjadi panutan.
Kewaspadaan dalam bersosial tidak satu tarikan nafas dengan perikemanusiaan, melaikan mesti cakap berhadapan dengan situasi yang disebut musang berbulu domba. Musang berbulu domba menyebar di segala penjuru, di pemerintahan, di partai politik, di tempat ibadah, di pasar dan di seluruh tempat aktivitas kerakyatan. Cara kerja dunia seakan telah memaksa rakyat Indonesia untuk mampu beradaptasi dengan kehidupan musang berbulu domba.
Hirarki sosial di Indonesia tanpa disadari telah berubah seperti rantai makanan dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam. Yang paling atas memakan yang dibawahnya, kemudian seterunya memakan yang dibawahnya. Bagi yang terus berada di bawah sadar atau tidak akan selalu menjadi korban. Atas kondisi sosial seperti itu pula, kalangan akar rumput di tengah keterbatasan yang dimilikinya, terpaksa mengambil jalan pintas untuk bertahan hidup. Ada yang merampok, ada yang menjadi budak penguasa, ada yang menjadi perusak generasi bangsa dengan motif lainnya. Akhirnya postur hirarki kekuasaan di Indonesia merusak bangsa dari dalam.
Sebagai warga negara yang masih jernih berfikir dan menatap masa depan, kita tidak dapat membiarkan iklim sosial Indonesia dipenuhi oleh perilaku musang berbulu domba. Perilaku ini tentunya tidak hanya dihadapkan kepada calon pemimpin, tetapi juga karakter masyarakat di Indonesia. Indonesia harus dapat dibebaskan dari masyarakat yang tidak boleh menyerah melawan kekuasaan yang menyalahgunakan kekuasaannya. Indonesia harus terbebas dari pola penjaringan pemimpin yang tidak jujur.
Ujung tombak menyelamatkan situasi dan kondisi Indonesia yang semakin memburuk dari dalam ini tentunya ada di tangan generasi muda yang militan, kreatif dan visioner agar tidak mengulang kesalahan generasi sebelumnya.
Dalam konteks ini pula, jangan sempat generasi muda Indonesia atau masyarakat Indonesia pasrah dan larut menikmati kehidupan dalam kawanan musang berbulu domba seperti yang dialami Indonesia hari ini. Sehingga masih membicarakan Indonesia demikian manis dengan potensi kehebatannya, namun dalam kelakuannya menggrogoti nilai-nilai keutuhan bangsa dan negara dari hari ke hari.