Kata “bajingan” yang dilontarkan oleh Rocky Gerung terhadap Presiden Joko Widodo menyulut tampilan demokrasi di Indonesia. Nasib demokrasi Indonesia nyaris sama dengan perubahan makna dan peruntukan dari asal usul kata bajingan. Kata bajingan yang awalnya disebut sebagai profesi sopir gerobak sapi yang berada di Pulau Jawa di zaman dahulu kala, kemudian seiring dengan peristiwanya, kata bajingan berubah menjadi suatu makian. Selanjutnya, bajingan bukan lagi dianggap sekadar lampiasan emosi karena terlambat, tetapi mencopet, mencuri dan segala sesuatu yang bersifat makian atau hujatan dialamatkan pada kata bajingan.
Karena bahasa merupakan milik masyarakat dan hidup di tengah-tengah masyarakat, barang kali bajingan itu semakin tumbuh dan menyebar di setiap lembaga-lembaga strategis di negeri ini. Diakui atau tidak, bajingan ada di parleman, partai politik, lembaga pendidikan, bahkan dalam hirarki sosial. Intinya, potensi keberadaan bajingan tersebut ada di mana-mana.
Keberadaan bajingan dapat diketahui melalui berbagai gerak mainnya. Tentu setiap bajingan yang berada di republik ini memiliki levelnya masing-masing. Ada bajingan level desa, bajingan level kabupaten/kota, bajingan level provinsi hingga bajingan level nasional dan internasional. Keberadaan bajingan biasanya berkomplotan, dengan bahasa softnya berkolaborasi atau bersinergi sesama bajingan dalam mencapai misi terselubung di antara mereka.
Rakyat kerap kali tertipu secara tanpa sadar oleh para bajingan. Dalam panggung kekuasaan ekonomi, politik dan hukum, para bajingan memiliki peran aktif, baik sebagai king maker maupun sebagai eksekutor dalam menjaga sistem kekuasaan tidak boleh lepas dari cengkraman para bajingan, sehingga, mungkin saja rezim berpindah dari kelompok bajingan kalah ke kelompok bajingan menang. Yang terjadi selanjutnya bukanlah persaingan kekuasaan antara poros politik kewargaan-kesolehan, melainkan persaingan atau perseteruan antar bajingan.
Secara kasat mata memang praktik-praktik kebaikan tampak dari bawah, terlebih masyarakat akar rumput dijadikan sebagai pemain depan layar oleh para bajingan, namun sesungguhnya ketika dilirik ke atas, justru yang terlihat adalah ada skema politik yang telah dirancang oleh para bajingan kelas kakap dan mentereng. Barangkali arah kata bajingan dalam tulisan tidak jelas arahnya. Memang benar, sebab kebanyakan saat ini para intelektual bahkan pengamat politik seperti rabun dalam menyebut atau menunjuk para bajingan di republik ini.
Di kalangan masyarakat juga sedemikian, terkadang para bajingan yang dibencinya dan pada sisi tertentu ia juga bergantungan hidup pada para bajingan. Bajingan yang mengendalikan kekuasaan pada wilayah tertentu sulit untuk dilawan, sebab benih-benih bajingan itu bukan saja hanya milik kalangan elite, tetapi di kalangan rakyat jelata juga terjangkit gejala politik bajingan.
Sederhananya, politik bajingan adalah politik yang seolah-olah untuk kebaikan bangsa dan negara, namun sebenarnya adalah untuk melestarikan atau melanggengkan kekuasaan di kalangan tertentu saja. Berbagai skema kebijakan yang seolah-olah menyelamatkan rakyat, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang, namun sesungguhnya kebijakan yang dimaksud adalah untuk menguntungkan secara sepihak, dan kemudian dampaknya menjadikan rakyat sebagai korban kebijakan. Dalam hal inilah yang disebut para bajingan membajak demokrasi kerakyatan.
Dalam memperteguh semangat demokrasi di Indonesia juga sedemikian. Para bajingan sangat mahir dalam menciptakan suasana yang seolah-olah kelompok tertentu demokratis dan humanis, namun sesungguhnya di belakang kelompok tersebut adalah bajingan yang berkekuatan bagaikan dewa dalam film-filem klasik. Situasi dan kondisi republik hari ini seperti semakin hari semakin menyuburkan benih-benih bajingan.
Nyaris hampir segala lembaga yang menggodok sumber daya manusia di republik ini membiarkan perkembangan generasi bajingan. Terlebih lagi sistem pemerintahan yang terus-terusan membentang karpet merah kepada para bajingan dan keturunannya. Barang kali ada kemiripan antara otoritarinisme dengan bajingan. Barangkali ada kesamaan antara politik dinasti yang koruptif dengan bajingan. Juga ada kaitan yang erat antara partai politik dengan ekosistem bajingan. Juga tidak mustahil juga ada relevansinya antara perguruan tinggi dengan para bajingan.
Melalui kajian ini, senantiasa republik Indonesia tidak jatuh ke tangan para bajingan. Sehingga negara dan bangsa tidak kendalikan oleh koalisi bajingan. Namun demikian, fenomena bajingan teriak bajingan pun tampak semakin menjadi-jadi hari ini. Seolah-olah memaki kebijakan yang buruk atau penguasa yang koruptif dan ugal-ugalan adalah sesuatu yang fatal dan tak beretika. Dan menghalangi atau mencegah politik kemunafikan adalah sesuatu yang buruk dan harus dikeroyok. Sungguh Indonesia makin hari makin bertambah saja manusia-manusia bajingannya. Mungkinkah tulisan ini sesuai dengan fakta keindonesiaan saat ini? Tentu para bajingan tidak ingin jujur dalam menjawabnya.