Aceh Tenggara dapat dianggap sebagai kabupaten tidak kalah bertoleransi di Indonesia. Dengan adanya sebalas etnis di Aceh Tenggara yang juga dikenal dengan motto “sepakat segenep” dapat dijadikan acuan dalam bersosial bagi masyarakat. Daerah yang dikenal dengan tanoh alas atau lembah alas. Suku alas adalah suku asli dari Kabupaten Aceh Tenggara dengan adat istiadat yang sangat kental. Suku alas memiliki nilai budaya yang syarat kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan. Masyarakat di Aceh Tenggara juga daapat disebut sebagai masyarakat yang ramah dan terbuka terhadap suku-suku lainya yang tinggal di Aceh Tenggara.
Keberadaan sebelas etnis di Aceh Tenggara yang memang sudah lama lestari dan menjadi ikonnya tanoh alas. Etinis-etnis yang diakui pemerintah Aceh Tenggara di antaranya adalah alas, Karo, Jawa, Toba, Singkil, Minang, Gayo, Pakpak, Mandailing, Aceh dan Melayu. Dengan banyaknya etnis di Aceh Tenggara ini menjadikan masyarakatnya terus saling menjujung tinggi nilai toleransi satu sama lainya.
Walaupun begitu banyak suku atau etnis di tanoh alas, tapi kehidupan dalam bermasyarakatnya selalu damai dan tentram dan jauh dari jonflik sosial. Kalau pun ada gesekan, gesekan tersebut ditempuh secara musyawarah dalam mencapai kesepakatan bersama sesuai dengan motto Aceh Tenggara yaitu pepakat Segenep.
Masyarakat tanoh alas sagat mencintai keberagaman suku dan budaya di daeranya. Hal ini dapat dilihat melalui saling menghargai kebudayaannya, bahkan masyarakatnya mengkolaborasikan beragam tarian budaya (seni tari) ke dalam suatu pertunjukan yang biasanya sering dipamerkan ketika ada acara-acara formal maupun nonformal. Masyarakat Aceh Tenggara bukan hanya bertoleransi dengan suku saja, namun juga bertolerasi terhadap pemeluk agama lain seperti agama Kristen.
Fakta sosial ini, saya melihat langsung terkait wujud tolerasi di tanoh alas ini, yaitu terdapat gereja tempat ibadah pemeluk agama kristen yang berdiri kokoh di daerah pusat perkotaaan yang sangat jarang kita lihat di daerah Aceh lainnya dan pemakaman yang saling berdampingan anatara pemakan agama Islam dan agama Kristen.
Ada pepatah mengatakan “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” meskipun terdapat banyak suku di Aceh Tenggara tetapi suku alas sebagai suku asli dan menjadi sumber landasan hukum dari suku lainya yang ada di tanoh alas, mau tidak mau harus mengikuti aturan dan peraturan yang telah dietapkan oleh suku alas. Maka dari itu suku-suku lain juga harus lebih mengargai suku setempat. Melalui adanya lembaga Majelis Adat Aceh (MAA) sebagai lembaga yang berkaitan dengan adat istiadat di Aceh Tenggara.
Sebab itulah ketika tinggal di Aceh Tenggara, seakan-akan kita seperti melihat miniaturnya keberagaman Indonesia yang kaya akan suku dan budayanya. Belum lagi suasana alamnya dikelilingi Gunung Leuser yang begitu indah dengan hutannya yang hijau dan asri. Jauh dari asap pabrik dan polusi, karena memang industri dan tambang di tanoh alas terpantau tidak ada. Sehingga kita dapat tinggal dengan tenang dan damai menghirup udara yang segar, walapun ada sedikit pencemaran lingkungan akibat dari polusi kendaraan saja.
Aceh Tenggara juga menjadi ikonnya Gunung Leuser yang sudah terkenal di kancah nasional maupun intersanional, sehingga di lembah alas tidak heran lagi, banyaknya para turis yang datang ke daerah ini untuk berlibur, bahkan terkadang para bule atau turis tersebut memilih untuk menetap di tanoh alas ini. Karena memang Aceh Tenggara juga kaya akan tempat wisata alamnya hingga flora dan faunanya. Jadi, tidak heran paran turis maupan para wisata dari luar kota berbondong-bondong untuk menikmati wisata alamnya.
Indahnya kebersamaan dalam perbedaan, jadi jangan sampai bumi sepakat segenep ini dipecah-belah oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil keuntungan pribadi maupun kelompok partisan tertentu. Karena Aceh Tenggara menjadi contoh di Provinsi Aceh sebagai kabupaten yang paling bertoleransi yang menjujung tinggi bhineka tunggal ika, jadi jangan sampai julukan ini kita cederai. Sebagai generasi muda, mari kita jaga kebudayaan ini agar tetap lestari, terlebih generasi muda Aceh Tenggara itu sendiri agar nantinya akan menjadi potensi dan modal sosial yang memajukan peradaban di Aceh Tenggara. Semoga!