Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi administrasi dalam hal kerja, baik micro maupun macro. Sering sekali ditanya, lulusan dari mana? tingkatan/strata berapa? Lama studinya berapa tahun? Berapa IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) dan pertanyaan yang mengarah kepada administratif seseorang. Sehingga tidak heran, banyak dari anak muda yang melanjutkan jenjang pendidikannya sampai kuliah bahkan strata yang lebih tinggi dengan harapan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh anak muda atau biasa disebut sebagai generasi gen z.
Tidak ada yang salah dengan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, karena pendidikan merupakan awal dari perubahan yang lebih baik. Pada saat Nagasaki dan Hiroshima (salah satu kota yang ada di Jepang) di bom nuklir di tahun 1945 oleh Amerika, sekitar dua ratus ribu korban jiwa yang tewas atau terbunuh. Setelah peristiwa mengerikan itu, apa yang dilakukan oleh kekaisaran Jepang? apakah melakukan genjatan senjata untuk menyerang balik Amerika?
Melakukan renovasi besar-besarannya? Menghitung jumlah armada yang tersisa? Jawabannya tidak. Kaisar Jepang (Hirohito) berkata, berapa jumlah guru yang tersisa? Lontar seorang kaisar Jepang yang dihormati di negeri matahari terbit yang membuat para jenderal pada saat itu kebingungan. Lantas, apa yang menjadi alasan kaisar Jepang mengatakan berapa jumlah guru yang tersisa? Jawabannya adalah kehancuran jepang dikarenakan tidak belajar tentang bom atom. Jepang boleh kuat dalam hal militer dan strategi perang, namun Jepang tidak tahu apa apa soal bom atom yang menjadi penyebab hancurkan kota besar negeri matahari terbit tersebut.
Hal apa yang bisa diambil dari peristiwa besar Jepang tersebut?
Kaisar Jepang ingin membangun pondasi yang kuat dari tenaga pendidik yang berkualitas untuk generasi muda yang cerdas. Lantas, apa korelasi dari peristiwa Jepang dengan sarjana muda melanjutkan S2 dan aman cari kerja? apakah karena Indonesia pernah dijajah jepang, sehingga penerapannya juga harus sama? Jawabanya bukan. Jepang mengumpulkan guru karena punya visi dan misi yang jelas, di Indonesia tanpa berkumpulnya guru sudah seperti roti yang digrogoti semut. Seperti itulah analaogi sedeherhananya, kita terlalu banyak guru (tenaga pendidik) tapi secara kualitas ataupun kapabilitas sekaligus visi dan misi seorang pendidik tidak lebih baik daripada negeri matahari terbit tersebut.
Itu baru dari sudut pandang profesi tendik (tenaga pendidik) belum lagi dari profesi lainnya. Artinya, kita dipaksa melanjutkan pendidikan ataupun strata yang lebih tinggi walaupun perencanaan kedepan belum jelas. Itu yang membuat faktor utama dari seorang sarjana muda terdistraksi untuk melanjutkan pendidikan agar mudah cari kerja, eksistensi di lingkungan masyarakat tinggi yang sebenarnya banyak tamatan S2 yang tidak mencermikan dia adalah seorang magister atau orang yang sudah berlebel akademisi.
Di Indonesia hanya 12% warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi yang menganggur dikarenakan tidak adanya link and match antara perguruan tinggi dan pasar kerja, dan sebagiannya tidak punya kompetensi kerja. Itulah mengapa MBKM (Mengajar Belajar Kampus Merdeka) menjadi solusi yang dibuat oleh pemerintah untuk calon sarjana muda agar memiliki link and match di pasar kerja.
Walaupun sudah diberikan solusi dari pemerintah, sarjana muda masih saja kebingungan dalam menentukan kearah mana dia akan melanjutkan kiprahnya atau perjalanannya. Dimana letaknya? Yaps betul, tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan di pasar kerja dan memaksakan starata sebagai senjata agar mudah cari kerja.
Padahal, itu dapat meningkatkan jumlah persentase pengangguran di Indonesia bukan hanya sarjana tapi ditulis di artikel “banyak magister yang menganggur tanpa kerja” dan salah satunya itu adalah anda, bagaimana? Sudah siap masuk kedalam kategori pengangguran tapi sudah magister? Cobalah berpikir lebih rasional selayaknya seorang akademisi.
Cukup menormalisasikan jual beli suara, jangan menormalisasikan standar S1 dan S2 yang sama rata, lebih cerdas dalam memilih tujuan. Bersikaplah selayaknya seorang Magister jika sudah Magister, bersikaplah sebagai seorang Sarjana jika sudah Sarjana baik kompetensi maupun pola pikir. Agar Indonesia tidak kekurangan lagi orang cerdas yang amanah, kenapa ada kata amanahnya, karena terlalu cerdas pun suka mengakali seperti perwakilan di negeri ini.